Minggu, 05 Juli 2009

Neo-Liberalisme Mencengkram Indonesia

Ditulis oleh : Awalil Rizky dan Nasyith Majidi

Ada dua fenomena yang saling bertolak belakang berkenaan dengan pemahaman publik atas apa yang sebenarnya telah dan tengah berlangsung dalam dinamika perekonomian Indonesia. Pertama, istilah dan angka ekonomi cenderung mendominasi headline news media massa, media cetak maupun media elektronik di Indonesia saat ini. Ada berita atau ulasan mengenai kondisi perekonomian, yang dahulunya hanya dikenal mereka yang bergelut dalam wacana ilmu ekonomi, seperti : laju pertumbuhan ekonomi, kondisi APBN, perkembangan transaksi berjalan dan fluktuasi nilai tukar rupiah. Masyarakat luas akhirnya menjadi terbiasa disodori perbincangan mengenai hal-hal tersebut.

Sebagai contoh, pada awal tahun 2008, kebanyakan media memuat berita berikut ini: pemerintah mengharapkan pertumbuhan ekonomi akan mencapai 6,8 persen pada tahun 2008; Volume APBN 2008 yang ditetapkan oleh pemerintah dan DPR adalah Rp 854,66 triliun; Harga minyak dunia yang membumbung tinggi memaksa pemerintah mengajukan revisi APBN 2008; Bank Indonesia mengumumkan BI-rate sebesar 8 persen pada Januari 2008; Bank Indonesia juga menyatakan bahwa cadangan devisa mencapai lebih dari US$56,9 miliar per 1 Januari 2008; Badan Pusat Statistik mengumumkan tingkat inflasi pada bulan Januari 2008 sebesar 1,77 %; dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menembus angka 2800 pada awal bulan Januari 2008.


Ada lebih banyak lagi berita atau ulasan mengenai soal ekonomi yang langsung terkait dengan kehidupan sehari-hari masyarakat atau berkenaan dengan keadaan dunia usaha (bisnis). Perbincangan mengenai hal-hal yang biasa disebut dengan soal mikroekonomi (dalam wacana teori ekonomi) itu sering dilengkapi dengan angka-angka statistik. Baik angka yang bersumber dari publikasi rutin suatu lembaga, maupun dari hasil survey insidental. Telah lazim jika media massa menampilkan banyak tabel, grafik dan diagram, yang kerap memiliki halaman tersendiri (acara khusus bagi media elektronik). Bahkan, media khusus untuk masalah ekonomi dan bisnis semakin bermunculan, serta memiliki tiras yang cenderung meningkat.

Bisa disimpulkan bahwa masyarakat luas mudah memperoleh informasi atau fakta ekonomi dan bisnis pada saat ini. Info tersebut seringkali dilengkapi dengan berbagai penjelasan yang bergaya populer atau tidak bersifat terlampau akademis. Penjelasan kadang-kadang dimuat berupa tulisan (kolom) oleh para ahli (pengamat), namun lebih sering terlihat dalam ulasan berita para jurnalis. Tulisan para jurnalis itu pada umumnya merangkum berbagai komentar
orang yang dianggap kompeten (ahli, pejabat terkait, atau pelaku ekonomi). Sedangkan media elektronik cenderung menampilkan perdebatan berupa talk show, yang bermaksud memperjelas permasalahannya.

Akan tetapi, ada fenomena lain yang justeru nuansanya berkebalikan dari fenomena pertama tadi. Tampak semakin banyak orang yang bingung dengan penggambaran atau ulasan para ahli ekonomi, terutama ekonom pemerintah, tentang keadaan ekonomi Indonesia. Indikasinya bisa dilihat dari berbagai komentar pembaca media cetak dalam surat pembaca, atau pada saat ini paling mudah dilihat dari tanggapan dalam media yang kebanyakan sudah menyediakan
edisi online selain versi cetak ( juga ada beberapa media yang memang hanya mempublikasan edisi online). Bisa kita cermati pula pada telepon pemirsa media elektronik pada acara yang bersifat interaktif untuk topik terkait.

Dalam berbagai headline news yang dicontohkan tadi, masyarakat umum yang tidak terlatih dalam ilmu ekonomi sering
dibingungkan oleh banyak hal, sekalipun terbiasa membaca dan mendengarnya.

tulisan selengkapnya dapat dibaca dengan mengklik link dibawah ini

http://www.scribd.com/doc/6687217/BukuNeolib


0 komentar:

Posting Komentar