Sabtu, 18 Juli 2009

Antara Terorisme Negara dan Perjuangan

Sejak terjadinya serangan teror 11 September 2001 yang meluluhlantakkan menara kembar WTC di New York, masalah yang paling hangat dibicarakan adalah isu perang melawan terorisme. Sejauh ini tak ada yang menentang slogan memerangi terorisme. Sebab, terorisme memang sebuah fenomena buruk yang harus dibasmi keamanan dan kedamaian dunia. Hanya saja yang menjadi masalah adalah tampilnya kelompok neo konservatif di Gedung Putih sebagai pihak yang mengklaim kepemimpinan dalam perang ini. Akibatnya, isu perang melawan teror ditunggangi oleh kepentingan kelompok ini.

Dengan bantuan media massa yang ada, kelompok neo konservatif sengaja mengacaukan makna dua hal yang berbeda yaitu terorisme dan perjuangan yang sah. Tak jarang pula, perjuangan disama-artikan dengan terorisme seperti yang terjadi pada perjuangan rakyat Palestina. Selain itu, Barat juga menyempitkan istilah terorisme hanya pada terorisme pribadi atau kelompok dan menafikan adanya praktik terorisme negara.


Terorisme dalam arti menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan, adalah fenomena yang sudah ada sejak dahulu. Dalam beberapa dekade yang lalu, sejumlah kelompok dan organisasi terbiasa menggunakan cara-cara kekerasan untuk menekan pemerintah, lembaga internasional atu phak-pihak lain agar menuruti kehendaknya. Salah satu contoh nyatanya adalah kelompok mafia di negara-negara Barat, yang menggunakan teror untuk meraih kekuasaan, kekuatan dan kekayaan.

Ciri khas dari teror yang membedakannya dari cara kekerasan yang lain adalah kemampuannya menciptakan suasana mencekam. Suasana mencekam yang menghantui rakyat di AS pasca serangan ke WTC, membuat peristiwa itu disebut dengan aksi terorisme, dan kondisi inilah yang lantas dimanfaatkan oleh Gedung Putih untuk kepentingannya.

Bahwa terorisme harus diperangi, itu merupakan sebuah kesepakatan. Tetapi untuk memerangi fenomena ini harus ada penjelasan terlebih dahulu tentang makna dari terorisme. Dengan kata lain, terorisme harus didefinisikan terlebih dahulu sebelum ada langkah untuk memeranginya. Sejauh ada Perserikatan Bangsa-bangsa telah menyatakan bahwa siapa saja yang menciptakan ketakutan di tengah rakyat, atau pemerintah atau bahkan lembaga internasional, memaksa mereka melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan, membunuh atau mencederai warga sipil, dapat digolongkan sebagai teroris.

Menurut definisi PBB, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemberian perintah teror termasuk ke dalam terorisme. Meskipun definisi ini lebih banyak menyorot terorisme individu dan kelompok, namun melihat isi dan maksudnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sebuah negara pun dapat pula melakukan aksi-aksi terorisme sehingga sudah barang tentu dapat pula disebut sebagai teroris.

Untuk dapat melihat lebih jelas wajah terorisme negara, maka bisa dilihat ciri-ciri teror dan membandingkannya dengan kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah negara. Dalam terorisme biasa penduduk sipil menjadi sasaran. Melihat aksi-aksi beberapa negara imperialis Barat, akan tampak dengan jelas bahwa mereka ini telah membunuh bukan sepuluh atau seratus orang, tapi puluhan ribu manusia tak berdosa di negara-negara jajahan mereka, selain merampas sebanyak mungkin harta kekayaan nasional negara jajahan.

Di antaranya dapat dikatakan bahwa lebih dari 100.000 warga Irak tak berdosa, sejak awal penjajahan atas negara ini pada tahun 2003 hingga kini menjadi korban ketamakan hegemoni AS. Salah satu contoh nyata terorisme negara ialah rezim zionis, yang

hingga kini telah membunuh dan mencederai ratusan ribu warga tak berdosa Palestina, dan mengusir jutaan orang dari mereka dari kampung halaman, dalam rangka merampok tanah Palestina dan melanjutkan pemerintahan ilegal mereka di kawasan ini.

Di antara ciri-ciri lain terorisme ialah penciptaan rasa takut dan ngeri di tengah warga. Pembunuhan rakyat di berbagai negara oleh penguasa-penguasa Barat dan rezim zionis, merupakan contoh paling nyata dalam masalah penciptaan rasa takut dan cemas di tengah rakyat luas. Mereka menciptakan suasana seperti itu dengan tujuan memaksa para pejuang untuk menghentikan perlawanan dan menyerah kepada mereka. Tiap harinya, puluhan warga sipil Irak di bunuh secara massal oleh orang-orang dan kelompok tertentu, yang berdasarkan berbagai bukti dan saksi, memiliki jalinan hubungan dekat dengan para pejabat AS. Tel Aviv pun, dengan tuduhan luas Washington, membunuhi warga Palestina dan menganggap aksi keji ini sebagai hak mereka.

Teror adalah perbuatan kekerasan yang mengancam keamanan dan kedamaian. Tak diragukan bahwa aksi-aksi militer negara-negara Barat, terutama AS di negara-negara berkembang, di masa lalu dan sekarang, merupakan contoh paling jelas untuk aksi-aksi anti keamanan dan kedamaian ini. Untuk itulah, sejumlah besar penduduk dan cendekiawan dunia, memandang As sebagai bahaya terbesar bagi perdamaian internasional.

Noam Chomsky, kritikus terkenal AS berkali-kali menekankan bahwa AS adalah negara teroris terbesar di dunia. Dengan demikian, terorisme negara-negara Barat merupakan terorisme terburuk dan paling kejam, yang telah menelan korban sejumlah besar manusia dan merampas kekayaan-kekayaan nasional mereka, dan mengancam kedamaian dunia. meski demikian, negara-negara Barat berusaha membatasi terorisme hanya pada terorisme pribadi dan kelompok. Selain itu mereka juga berusaha meyakinkan masyarakat dunia bahwa terorisme semacam ini banyak muncul dan bersumber dari dunia Islam.

Tipu muslihat lain negara dan media massa Barat ialah, mengesankan perjuangan legal setiap bangsa untuk mempertahankan negara dan kepentingan nasionalnya, sebagai terorisme. Mereka melancarkan propaganda sedemikian rupa dimana jika setiap bangsa yang berada di bawah jajahan mereka bangkit melawan dan mengangkat senjata, berarti mereka melakukan teror. Padahal menurut akal dan fitrah, bertahan dan membela diri dalah perkara yang lazim dan dibenarkan. UU internasional pun membenarkan serta mendorong siapa saja untuk melakukan pembelaan dan pertahanan diri.

Dalam artikel 51 Piagam PBB dikatakan, “Jika terjadi serangan bersenjata terhadap sebuah negara anggota PBB, sampai ketika DK bertindak untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, maka tak ada satu pun dari ketetapan-ketetapan Piagam ini tidak menolak hak memeprtahankan diri, baik dilakukan secara perorangan maupun kolektif.” Dengan demikian rakyat Palestina, Irak dan Afganistan, bukan saja dapat mempertahankan negara mereka menghadapi para penjajah, bahkan DK pun harus bertindak secepatnya untuk menghapus penjajahan atas negara manapun. Sikap diam lembaga ini terhadap penjajahan, tak lain merupakan kelalaian dan ketidakmampuannya dalam mengemban kewajiban.

Sementara itu, negara-negara dan berbagai media massa Barat menyebut pertahanan legal negara-negara berkembang menghadapi para penjajah sebagai terorisme. Akan tetapi mereka lupa bahwa mereka pun bangkit mempertahankan diri menghadapi ekspansi pasukan Hitler, bahkan memandangnya sebagai salah satu kebanggaan terbesar mereka. Di masa Perang Dunia kedua, sejumlah negara Eropa jatuh ke dalam jajahan Nazi

Jerman. Akan tetapi di negara-negara ini muncul kelompok-kelompok pejuang yang bangkit melawan kekuatan penjajah. Saat ini, sejumlah negara dunia ketiga pun tengah berada di bawah penjajahan negara Barat. Seharusnya, mereka pun berhak bahkan harus dibantu dan didorong untuk bangkit melawan para penjajah mereka dengan sekuat tenaga.

Alakulihal, terorisme adalah fenomena buruk, penuh dengan kekerasan, dan sama sekali tak dapat dibela. Sebagaimana terorisme perorangan dan kelompok harus dikecam dan dilawan, maka terorisme negara pun harus dikecam dan dibasmi. Bagaimana pun, propaganda tendensius media-media massa Barat, tidak mungkin mampu mengurangi legalitas perjuangan menentang para agresor dan tidak mampu pula mengendurkan tekad dan semangat rakyat untuk bangkit menentang mereka.

Selengkapnya...

Jumat, 17 Juli 2009

Raja, Ratu dan Buto

Oleh : Emha Ainun Nadjib

Adakah di antara Anda yang merasakan, menyadari atau setidaknya mengasumsikan bahwa banyak hal yang sedang menjadi pengalaman kolektif masyarakat kita dewasa ini — diam-diam ada kaitannya dengan idiom-idiom ‘raja’, ‘ratu’ dan ‘buto’?

Marilah sesekali berpikir jernih dan tolong kerahkan akal pikiran serta segala spektrum keilmuan Anda — untuk menjawab pertanyaan: apakah di penghujung abad 20 ini masih ada raja, ratu, atau buto?

Kalau kita berpikir formal, tak ada raja, apalagi ratu. Tapi kalau berpikir substansial atau essensial: kita-kita ini adalah raja, adalah ratu, juga adalah buto.


Kita mungkin raja atas bawahan-bawahan kita. Kita raja di rumah, di lingkungan kantor, atau mungkin di mana saja kita berada. Sekurang-kurangnya kita secara alamiah (dan diperkembangkan oleh tradisi pengalaman sosial) memiliki potensialitas untuk cenderung menjadi ‘raja’, yang sadar atau tak sadar, kita terapkan di setiap kosmos keterlibatan sosial kita.

Kita cenderung merajai rumahtangga kita, merajai lingkungan pergaulan kita, merajai segala aset di sekitar kita. Apalagi jika kita dibesarkan oleh suatu lingkungan yang atmosfer perhubungan antar-manusianya bersifat feodalistik — di mana orang hanya memiliki dua kemungkinan: kalau di atas, menginjak; kalau di bawah, menjilat atau mengemis.

Yang terbaik tentulah jika kita sanggup menjadi raja atas diri kita sendiri. Kita menjadi raja atas segala urusan hidup kita. Kita menjadi raja yang demokratis dan pensyukur atas segala kebaikan diri kita, kita menjadi raja yang diktator atas segala keburukan diri kita.

Tetapi apa beda antara ‘raja’ dengan ‘ratu’ sesungguhnya? Sehingga tulisan ini berjudul demikian?

Kalau membedakan antara raja dan ratu dengan buto, masih relatif agak gampang.

Buto, atau raksasa, tak pernah ada dalam kehidupan manusia, di bagian manapun dari sejarah peradabannya. Buto atau raksasa hanyalah personifikasi dari salah satu watak gelap manusia yang berpotensi antikemanusiaan, antikebaikan, antikehalusan.

Rahwana digambarkan berbadan dan berwajah raksasa, karena ia lambang kejahatan. Meskipun demikian, menurut masyarakat Srilanka, Rahwana bisa menjadi pahlawan yang ganteng. Justru Prabu Rama itu imperialis, fasis, kolonialis, yang lebih tepat untuk digambarkan berwajah buto.

Sebagaimana orang Blambangan dan Banyuwangi tidak mengakui gambaran Menakjinggo yang oleh ’sejarah versi Majapahit’ digambarkan sebagai buto yang buruk wajah maupun kelakuannya. Bagi mereka, justru raja-raja Majapahit yang raksasa, yang menindas, yang menampakkan kehendak. Adapun Menakjinggo adalah pahlawan, nasionalis Blambangan sejati, pejuang demokrasi, otonomi dan kemandirian Blambangan atas imperialisme Majapahit.

Sunan Kalijaga mencoba merombak konsep paralelitas antara gambaran fisik dengan watak, moral atau perilaku. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong adalah seburuk-buruk makhluk jika dipandang dari sudut performa. Tapi nurani mereka, moral mereka, kasih sayang kemanusiaan mereka, pembelaan kerakyatan mereka, tak ada yang menandingi.

Adapun bagaimanakah filosofi dan konsep budaya manusia modern kayak kita sekarang ini? Apakah kesopanan seseorang, kenecisan penampilan seseorang, kostum seseorang, identik dengan realitas per moralnya? Masihkah kita boleh terjebak oleh surban, oleh performan kepriyayian, oleh peci, oleh gelar kiai, bahkan oleh status kehajian seseorang?

Tetapi jangan mentang-mentang performa kekiaian atau kepriyayian tidak menjamin moral dan perilaku sosial, lantas kita memitologisasikan performa yang lain: bahwa yang baik pasti yang tidak pakai peci, pasti yang tidak bersurban dan tak bergelar kiai. Mentang-mentang banyak penipu pakai sepatu dan dasi, lantas kita anggap yang pakai sendal dan kaos oblong pasti baik. Kita tetap harus obyektif dan sanggup menemukan relativitas dari simbol yang manapun. Relativisme kultur harus diterapkan pada semua gejala lambang.

Kalau warna hijau, umpamanya, dilegalisir secara kultural untuk menyebut kelompok ‘beragama’, kita tidak lantas memastikan bahwa produk perilaku kelompok ini tentu berkualitas kiai dan priyayi, tentu bermoral dan selalu berada di pihak yang benar. Sebab bisa saja dari kaum hijau justru muncul rekayasa dan perilaku ala buto atau raksasa yang menabrak apa saja dengan kasar, yang meringkus apa saja dengan brutal, yang melegalisir ‘kudeta’ ini dan itu, mendongkel dadap dan waru, yang menggoyang dan menjatuhkan fulan dan polan. Artinya, dalam hidup ini terutama dalam dunia gawat yang bernama politik: sangat mungkin terjadi priyayi berperilaku buto, kiai bergerak secara raksasa.

Sebaliknya, dengan itu semua kita tidak lantas terjebak pada fenomena antitesis yang juga kita dramatisir dan kita mitologisasikan. Misalnya bahwa kita langsung menganggap bahwa yang non-hijau pasti yang benar, yang sopan, yang bermoral, yang pro-demokrasi.

Kita sungguh-sungguh memerlukan kejernihan akal, hati yang sejuk dan jiwa yang selapang-lapangnya, untuk mempersepsikan segala sesuatu yang hari-hari ini kita baca di koran-koran dan kita tonton di teve dan kita dengar di radio maupun di warung-warung.

Atau jangan lupa bisa juga ada raja yang benar-benar raja atau ratu yang benar-benar ratu, namun ia dikelilingi oleh buto-buto. Segala akses informasi yang diterima oleh telinga sang raja berasal dari buto-buto. Kepada raja dikatakan ”Paduka, mereka sudah tak suka sama si Waru, jadi sangat dibutuhkan pergantian”. Dan kepada ‘mereka’ dikatakan: ”He anak-anak, Paduka sudah tidak berkenan lagi sama si Waru, jadi segera bikin kumpul untuk penggantian…”

Termasuk jangan lupa bahwa sesungguhnya para buto tidak senantiasa merupakan makhluk yang benar-benar buto. Para priyayi, priyagung, kiai, atau apapun, yang penuh sopan santun, yang tampak bermoral dan khusyu — bisa pada momentum tertentu terpaksa menjadi buto, untuk kepentingan tertentu yang harus dilaksanakan secepat-cepatnya.

Oleh karena itu jika Anda sudah menjadi Ratu, pada saat yang diperlukan bersikaplah segera menjadi Raja. Raja itu jelas kehendaknya, dawuhnya, perintahnya, rancangannya. Kalau Ratu, cenderung diam karena anggun dan penuh wibawa.

Ratu lebih banyak senyum-senyum saja. Namun kemudian yang berlangsung di seluruh negeri adalah interpretasi para buto tertentu atas senyum sang Ratu. Kalau interpretasi murni, masih lumayan. Tapi kalau interpretasi berdasar kepentingan para buto, susahlah semua rakyat.

Selengkapnya...

Mereka Tetap Saja Tak Percaya

Oleh Emha Ainun Nadjib

Larinya Eddy Tansil sangat melukai rakyat Indonesia. Dan luka itu bisa sedikit berkurang apabila Pemerintah menunjukkan sikap rendah hati dengan pernyataan resmi meminta maaf kepada bangsa Indonesia. Kalau perlu, diulang-ulang agar bisa menjadi semacam pendidikan politik yang memaparkan proporsi fungsi-fungsi, kewajiban dan hak dalam organisasi negara.

Salah satu tanda kedewasaan mental, kebesaran jiwa serta memadainya wawasan pada suatu pihak yang bersalah, adalah seberapa jauh ia menunjukkan perasaan bersalah. Orang yang punya komitmen terhadap kebenaran, akan dengan sendirinya bersikap blingsatan jika ia melakukan kesalahan atau apalagi ketidakbenaran. Minimal ketidakbecusan. Semakin parah blingsatannya, semakin tercermin kedalaman komitmennya terhadap kebenaran.


Situasi blingsatan nasional itu tak begitu terasa. Pak Oetojo Oesman sudah siap ditindak apapun oleh Kepala Negara, tapi seberapa jauh ia menunjukkan rasa malu kepada rakyat? Malahan khalayak ramai diimbau untuk bersama-sama mencari kemungkinan menangkap kembali si buron itu. Bahkan terdengar juga semacam ancaman -- meskipun yang mengancam kemungkinan besar tak merasa bahwa ia mengancam. ''Awas kalau masyarakat menyembuyikan Edy Tansil!''.

Lho, pigimane sih. Kalau soal membantu pemerintah, rakyat kebanyakan ini jangan pernah dikhawatirkan. Sebagian mereka membantu dalam bentuk disengsarakan pun selama ini mau-mau saja. Rakyat umum ini ndak ikut makmur, rangsum strukturalnya sangat rendah, ndak ikut kenduri, minta supaya semua saja yang terlibat dalam kasus Golden Key diadili tak terpenuhi kok malah direpoti diajak nguber buron dan malah dianggap ada yang akan melindunginya.

Lha dulu siapa yang salah sampai si Tansil bisa pinjam duit sak dabreg begitu itu -- hanya dengan selembar surat sakti? Dimana yang namanya disiplin nasional ketika itu? Politik perekonomian dan budaya politik macam apa yang memanjakan taipan-taipan itu? Feodalisme pasal berapa dalam ilmu sosial yang bisa menjelaskan kenapa ''tamu-tamu sejarah'' malah mendapatkan kemudahan-kemudahan proyek yang keterlaluan? Nepotisme dan modus operandi kolusi tingkat elite berdasar ayat berapa dalam buku-buku mafia resmi yang memungkinkan sedulur-sedulur sendiri malah sangat kecil peluangnya?

Apakah itu yang bernama nasionalisme? Universalisme? Deprimordialisasi? Bahwa semua manusia itu sama derajat dan haknya? Ya, semua manusia sama derajatnya, kulit apapun, kecuali ketika mau pinjam duit di bank.

Dan kalau mereka-mereka yang mengalami kekalahan struktural itu tiba di puncak kedlaifannya, lantas dihina dengan akan disantuni melalui 2,5 persen penghasilan orang-orang yang dimanjakan. Dan mereka semua bersyukur atas penghinaan itu, karena saking laparnya dan saking kaburnya wawasan mengenai hak-hak struktural mereka.

Jadi sesungguhnya Eddy Tanzil bukanlah hanya ada sekadar Eddy Tanzil. Ia, sejak menyodorkan tangannya untuk menerima surat sakti, sejak melangkahkan kakinya di pelataran bank yang kemudian dipecundanginya, sampai ia kabur kini -- bukanlah sekadar Eddy Tansil. Ia adalah simbol dari sejumlah kebobrokan managemen bangsa dan negara kita ini.

Tidak penting apakah Eddy benar-benar kabur karena memang berniat kabur.

Ataukah karena ia 'dikaburkan', lantas direncanakan untuk 'dimusnahkan' meskipun kemudian luput. Yang manapun skenario yang sesungguhnya sedang berlangsung -- wajah Eddy Tansil adalah pantulan dari wajah kita sendiri.

''Bukan! Bukan wajah kita!'' mungkin Anda memprotes kalimat saya itu, ''Wajah saya tidak begitu. Saya bekerja halal, kecil-kecilan, dan tak pernah berdekatan dengan kemudahan, kecuali atas keajaiban kehendak Tuhan pada momentum-momentum tertentu. Jumlah saya berpuluh-puluh juta, dan wajah saya tidak merupakan pantulan dari wajah Eddy Tansil maupun siapa saja yang terlibat secara sistemik dari skandalnya!'' Ya, saya paham. 'Kita' yang saya maksudkan bukanlah semua kita bangsa Indonesia. Melainkan sebagian kecil dari kita, yang memegang kendali-kendali utama rupiah, kekuasaan dan segala macam asset dan akses.

Saya sendiri adalah warganegara yang sedemikian bodohnya dalam soal ekonomi. Ekonomi adalah memberikan seribu lima ratus rupiah dan saya dikasih sebungkus rokok. Sampai di situlah tingkat pengetahuan dan ilmu ekonomi saya.

Justru karena itu maka kalau bisa kita jangan sampai pernah lupa bahwa Eddy Tansil bukanlah sekadar Eddy Tansil. Di bidang yang sama dan yang melakukan hal sama dengan Eddy Tansil, berapakah jumlahnya? Apakah mereka juga memperoleh keadilan sebagaimana Eddy Tansil ditimpa keadilan, sehingga ia masuk penjara. Yang lain-lain ditimpa ketidakadilan, sehingga tidak masuk penjara. Bagi mereka, ketidakadilan lebih menyenangkan dibanding keadilan.

Kemudian di bidang bidang lain, pada dataran yang berbeda-beda, seberapa ragamkah 'wajah Eddy Tansil' di negeri ini? Sesungguhnya larinya Eddy Tansil hanyalah salah satu 'bunyi instrumen musik' di tengah orkestrasi besar yang sedang berbunyi semakin gemintang. Meningkatnya kriminalitas, membengkaknya perkelahian massal, semakin maraknya demonstrasi-demonstrasi, robek-robeknya dinding nilai yang selama ini terawat mungkin bermaksud ''litundziro qouman ma undziro aabaa-uhum fa hum ghofilun...''. Untuk sekadar mengkelebatkan peringatan bagi suatu 'kaum' sebagaimana dulu telah pula diperingatkan kepada 'kaum' sebelumnya.

Tak tahu apa maunya Tuhan sebenarnya, tapi ayat itu dilansir sesudah ayat yang menyebut kata ''Tansil''. Tentu anda menganggap saya sedang melakukan otak atik gathuk: mempeleset-pelesetkan. Sebagaimana ketika pernah mengungkapkan secara 'iseng' bahwa bukan tak sengaja nama Adam Smith diizinkan oleh Tuhan untuk dipakai oleh seorang bapak untuk menamai anaknya. Karena lahirnya kapitalisme sebenarnya sudah terjadi jauh sebelumnya, dan tidak di dunia, melainkan di sorga. Yakni ketika Adam, yang memperoleh fasilitas mutlak seluruh sorga kecuali 'pohon' itu -- toh si Adam masih sedemikian rakusnya, sehingga didekatinya juga pohon itu.

Manusia pertama ini memang bapak kapitalisme. Entah berapa ratus perusahaan dan berapa dahsyat omset ekonomi seandainya beliau hidup di zaman Orba di Indonesia. 'Pohon' tinggal satupun akan diambilnya pula.

Maka peringatan Allah itu mestinya berlaku menyeluruh. Ketika menatap wajah Eddy Tansil, imajinasi dan kecerdasan kita harus mengembara ke jaringan-jaringan konteks dan sistem yang melingkupnya -- meskipun kalau menulis Eddy Tansil, para wartawan sudah tidak lagi serius dan sadar menyebut Sudomo, umpamanya.

Kebanyakan kita sekarang ini memang sudah 'kewalahan' oleh gejala dan membanjirnya kenyataan-kenyataan yang tak terjawab. Kalau di awal tulisan ini saya menyebut 'luka', sesungguhnya kebanyakan rakyat juga sudah tidak merasakan luka itu, karena luka sehari-hari mereka lebih langsung dan lebih riuh rendah.

Kita orang-orang kebanyakan yang tidak memanggul tanggung-jawab primer atas organisasi sejarah -- karena kita sudah menugasi soal itu kepada buruh-buruh kita, yakni pemerintah -- kini tinggal pasif menunggu kehendak Tuhan, karena terlalu banyak soal-soal yang kita tak mampu menangainya.

Tapi mereka-mereka yang memanggul tugas-tugas utama itu, karena mereka digaji dan memperoleh sangat banyak kemudahan dan kemewahan karena tugas-tugas itu -- kita doakan jangan sampai tergolong dalam apa yang Allah sebut di ayat sesudah ayat 'Tansil' dan ayat 'peringatan' di atas:
''Sudah gamblang kebenaran itu sejak dulu, tapi mereka tak percaya''.

Rakyat kecil di pinggir-pinggir jalan sudah omong sejak dulu. Kaum intelektual sudah memakalahkan kebenaran sejak dulu. Kaum seniman dan pujangga sudah menuturkan 'haq' sejak dulu. Para Ulama pastor, pendeta, bikhu, sudah menyanyikannya pula sejak lama. Tapi mereka tak percaya.

''Maka aku pasang belenggu di leher mereka, sehingga tangan mereka terangkat ke dagu dan kepala mereka menengadah'' ''Kami taruh dinding di depan mereka, kami letakkan tembok di belakang mereka, kami tutup mata mereka sehingga tak bisa melihat'' ''Sama saja bagi mereka, engkau lantunkan peringatan atau tak kau lantunkan peringatan, mereka tetap saja tak percaya.....''
Selengkapnya...

Senin, 13 Juli 2009

Surat terakhir Ali Shariati kepada anaknya, Ihsan, 1977

Aku tak tahu apa yang disembunyikan hari-hari untukku, peran apa yang telah ditakdirkan atasku untuk menjalankan misi mulia risalah Allah, tapi aku yakin bahwa aku memiliki peran yang belum rampung dituntaskan, kalau tidak bagaimana aku tetap hidup, padahal seharusnya tulang belulangku telah hancur tujuh kali.

Aku memuji Allah karena aku dapat mengalami semua cobaan dan penderitaan yang datang silih berganti, tubuhku masih kuat, kulit tebal apakah yang menyelimuti tubuh ini? Sebagian psikolog mengatakan "Satu generasi tidak akan kuat menerima kekalahan melebihi satu kekalahan, dan lihatlah aku telah mengalami enam atau tujuh kali kekalahan, kekalahan dan kemenangan? Apa bedanya bagi kita? Mungkin kemenangan dan kekalahan merupakan hal penting bagi olahragawan, politikus dan orang-orang yang suka berkompetisi, adapun bagi kita yang terpenting adalah menunaikan kewajiban risalah Allah dalam menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Apabila kita menang, kita mengharap agar terlindungi dari segala kesombongan dan penindasan kepada orang lain. Jika kalah, kita mengharap agar Allah menjaga dari segala kehinaan dan penyerahan diri.

Berjuang demi sebuah hakikat, kebebasan dan demi kebahagiaan manusia, merupakan kebahagiaan yang paling tinggi, dan keikhlasanku dalam perjuangan ini semuanya kulakukan demi bangsaku, agar dapat meringankan jeritan yang selalu ada dalam diriku. sampai-sampai aku tak dapat menjadi seorang ayah dan suami yang baik.

Terkadang aku gelisah, aku takut kekuasaan akan menindas putra-putri dan ayahku yang sudah tua, namun apapun yang terjadi, aku yakin berjalan di jalan Allah, dan ketika sesorang menentukan suatu jalan yang ingin ditempuhnya, maka ia harus siap dengan segala kemungkinannya. Ia harus berjalan sampai ke titik akhir.

Tujukanlah wajahmu untuk agama yang suci, semua yang kita lakukan ini membutuhkan kekuatan iman dan nafas panjang serta kesabaran dalam menanggung semua penderitaan. Ya Allah, berikanlah kami kekuatan sesuai dengan langkah kami.

Beberapa bulan sebelum Revolusi Islam memuncak di Iran, Ali Shariati ditemukan tewas di apartemennya di London, akibat di racun agen SAVAK (Badan Intelijen Iran). Jenazahnya dilarang dimakamkan di Iran oleh Rezim Pahlevi. Sehingga dimkamkan di Damaskus, Syiria di dekat makam Sayidah Zainab.

Selengkapnya...

Minggu, 12 Juli 2009

Link e-book : Sejarah Hidup Muhammad SAW - oleh Haekal

Ini merupakan Buku Sejarah Hidup Rasulullah Muhammad SAW (Hayat Muhammad) yang dikarang oleh Muhammad Husain Haekal, seorang wartawan, penulis dan politisi Mesir. menurut saya buku ini merupakan penulisan sejarah hidup Muhammad SAW, yang paling otentik tanpa bias cerita-cerita israiliyat atau dongeng. Ditulis dari sebuah riset kesejarahan yang mencoba sangat netral dalam pandangan seorang Sunni. (Sang Murid)



Berikut link-nya :
http://media.isnet.org/v01/islam/Haekal/Muhammad/

Berikut adalah Biografi Singkat penulisnya :

MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL

SEJAK masa mudanya Haekal tidak pernah berhenti menulis; di samping masalah-masalah politik dan kritik sastra ia juga menulis beberapa biografi. Dari Kleopatra sampai kepada Mustafa Kamil di Timur, dari Shakespeare, Shelley, Anatole France, Taine sampai kepada Jean Jacques Rousseau dengan gaya yang khas dan sudah cukup dikenal. Setelah mencapai lebih setengah abad usianya, perhatiannya dicurahkan kepada masalah-masalah Islam. Ditulisnya bukunya yang kemudian sangat terkenal, Hayat Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad) dan "Di Lembah Wahyu". "Dua buku yang sungguh indah dan baru sekali dalam cara menulis sejarah hidup Muhammad, yang kemudian dilanjutkan dengan studi lain tentang Abu Bakr dan Umar. Suatu contoh bernilai, baik mengenai studinya atau cara penulisannya. Ini merupakan masa transisi dalam hidupnya", demikian antara lain orang menulis tentang Haekal.


Pada mulanya Sejarah Hidup Muhammad ini telah menimbulkan reaksi hebat dan kritik tajam di kalangan bangsa Mesir dan dunia Islam umumnya. Tapi semua itu dihadapinya dengan tenang dan di mana perlu dijawabnya dengan penuh tanggung jawab dan rasional sekali.

Dilahirkan di desa Kafr Ghanam bilangan distrik Sinbillawain di propinsi Daqahlia, di delta Nil, Mesir, 20 Agustus 1888, Muhammad Husain Haekal, setelah selesai belajar mengaji Qur'an di madrasah desanya ia pindah ke Kairo guna memasuki sekolah dasar lalu sekolah menengah sampai tahun 1905. Kemudian meneruskan belajar hukum hingga mencapai lisensi dalam bidang hukum (1909). Selanjutnya ia meneruskan ke Fakultas Hukum di Universite de Paris di Perancis, lalu dilanjutkan pula sampai mencapai tingkat doktoral dalam ekonomi dan politik dan memperoleh Ph. D. dalam tahun 1912 dengan disertai La Dette Publique Egyptienne. Dalam tahun itu juga ia kembali ke Mesir dan bekerja sebagai pengacara di kota Mansura, kemudian di Kairo sampai tahun 1922.

Semasa masih mahasiswa sampai pada waktu menjalankan pekerjaannya sebagai pengacara, ia terus aktif menulis dalam harian-harian Al-Jarida yang dipimpin oleh Ahmad Lutfi as Sayyid, As-Sufur dan Al-Ahram. Umumnya ia menulis dalam masalah-masalah sosial dan politik, di samping juga memberikan kuliah dalam bidang ekonomi dan hukum perdata (1917-22). Tahun itu juga ia dipilih sebagai pemimpin redaksi harian As-Siasa sebagai organ resmi Partai Liberal. Dalam tahun 1926 mendirikan mingguan As-Siasa, yang dalam bidang kulturil besar sekali pengaruhnya ke seluruh negara-negara Arab. Ia aktif dalam bidang jurnalistik sampai tahun 1938.

Karya-karya Haekal menduduki tempat penting dalam perpustakaan-perpustakaan berbahasa Arab. Penulisan novel modern dimulai Haekal. Kemudian ia menulis serangkaian sejarah Islam dan biografi di samping masalah-masalah politik. Buku-bukunya dalam sejarah Islam merupakan sumber penting dalam studi keislaman.

Secara kronologis karya-karya Haekal adalah sebagai berikut: Zainab (novel), 1914, Jean Jacques Rousseau (dua jilid), 1921-23; Fi Auqat'l-Firaqh ("Diwaktu senggang"), 1925; "Asyarata Ayyam fis-Sudan" 1927; Tarajim Mishria wa Gharbia ("Biografi orang orang Mesir dan Barat"), 1929; Waladi("Anakku"), 1931; Thaurat'l-Adab, 1933 ; Hayat Muhammad ("Sejarah Hidup Muhammad"), 1935; Fi Manzil'l-Wahy ("Di lembah Wahyu"), 1937; Asy-Shiddiq Abu Bakr, 1942; Al Faruq 'Umar ("'Umar ibn'l-Khattab") (dua jilid). 1944-45; Mudhakkirat
fis-Siasat'l-Mishria ("Memoir tentang Politik Mesir") (dua jilid), 1951-53; Hakadha Khuliqat, 1955; Al-Imbraturia al-Islamia wal-Amakin al-Mugaddasa fisy-Syarq' l-Aushat ("Commonwealth Islam dan tempat-tempat Suci di Timur Tengah") (kumpulan studi), 1960; Asy-Syarq' l-Jadid (kumpulan studi), 1963; 'Uthman bin 'Affan, 1964; Al-Iman, wal-Ma'rifa wal-Falsafa ("Tentang Iman, Ma'rifat dan Filsafat") (kumpulan studi), 1965; Qisas Mishria ("Cerpen-cerpen Mesir"), 1969.

Novelnya Zainab, yang mengisahkan kehidupan petani Mesir, mula-mula ditulisnya semasa ia masih mahasiswa di Paris, dan pada hari-hari libur sebagian ditulisnya di London dan di Jenewa, Swis; telah dibuat film dan dalam festival film internasional di Jerman (1952) Die Liebesromanze der Zenab ini yang ditulisnya sebagai kenangan kepada tanah air dan masyarakat di kampungnya, dalam dua kali pertunjukkan telah mendapat sambutan yang luar biasa dan telah terpilih pula sebagai film yang paling berhasil, dilukiskan sebagai "Egyptische Welturauffuhrung in Berlin".

Dalam tahun 1943 ia terpilih sebagai ketua Partai Liberal Konstitusi (Liberal Constitutional Party), yang dipegangnya sampai tahun 1952.

Tahun 1938 ia menjabat Menteri Negara, kemudian Menteri Pendidikan, lalu Menteri Sosial. Sesudah itu menjadi Menteri Pendidikan lagi dalam tahun 1940 dan 1944. Pada permulaan tahun 1945 ia terpilih sebagai ketua Majelis Senat sampai tahun 1950.

Berkali-kali mengetuai delegasi mewakili negaranya di PBB dan dalam konperensi-konperensi internasional, dalam Interparliamentary Union dan secara pribadi terpilih pula sebagai anggota panitia eksekutif lembaga tersebut.

Beberapa buku dan disertasi tentang sejarah hidup Dr. Haekal telah terbit, diantaranya:

Beberapa studi tentang Dr. Haekal, oleh beberapa penulis (1958).

Mohammed Hussein Haekal, oleh Baber Johansen, sebuah thesis, Universitas Berlin, 1962.

Dr. Mohammad Hussein Haekal, oleh Taha Wadi', thesis, Universitas Kairo (Fakultas Sastra), 1965.

Dr. Mohammed Hussein Haekal, oleh Charles Smith, sebuah thesis, Universitas Michigan, Amerika Serikat, 1968.

Dr. Haekal seorang pengarang yang produktif, baik dalam bidang sastra, kemasyarakatan, maupun politik, yang disiarkan selama ia aktif dalam jurnalistik. Banyak juga naskah-naskahnya yang belum disiarkan.

Kembali aktif menulis dalam harian-harian Al-Mishri, dan Al-Akhbar sejak 1953 hingga wafatnya.

Meninggal pada 8 Desember 1956.



S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA
Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
Cetakan Kelima, 1980
Seri PUSTAKA ISLAM No.1

Selengkapnya...

Rasulullah Muhammad SAW

oleh : Michael H. Hart
dalam bukunya "Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah"

01. NABI MUHAMMAD (570 SM - 632 SM)
Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.

Berasal-usul dari keluarga sederhana, Muhammad menegakkan dan menyebarkan salah satu dari agama terbesar di dunia, Agama Islam. Dan pada saat yang bersamaan tampil sebagai seorang pemimpin tangguh, tulen, dan efektif. Kini tiga belas abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar.

Sebagian besar dari orang-orang yang tercantum di dalam buku ini merupakan makhluk beruntung karena lahir dan dibesarkan di pusat-pusat peradaban manusia, berkultur tinggi dan tempat perputaran politik bangsa-bangsa. Muhammad lahir pada tahun 570 M, di kota Mekkah, di bagian agak selatan Jazirah Arabia, suatu tempat yang waktu itu merupakan daerah yang paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni maupun ilmu pengetahuan. Menjadi yatim-piatu di umur enam tahun, dibesarkan dalam situasi sekitar yang sederhana dan rendah hati. Sumber-sumber Islam menyebutkan bahwa Muhamnmad seorang buta huruf. Keadaan ekonominya baru mulai membaik di umur dua puluh lima tahun tatkala dia kawin dengan seorang janda berada. Bagaimanapun, sampai mendekati umur empat puluh tahun nyaris tak tampak petunjuk keluarbiasaannya sebagai manusia.


Umumnya, bangsa Arab saat itu tak memeluk agama tertentu kecuali penyembah berhala Di kota Mekkah ada sejumlah kecil pemeluk-pemeluk Agama Yahudi dan Nasrani, dan besar kemungkinan dari merekalah Muhammad untuk pertama kali mendengar perihal adanya satu Tuhan Yang Mahakuasa, yang mengatur seantero alam. Tatkala dia berusia empatpuluh tahun, Muhammad yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa ini menyampaikan sesuatu kepadanya dan memilihnya untuk jadi penyebar kepercayaan yang benar.

Selama tiga tahun Muhammad hanya menyebar agama terbatas pada kawan-kawan dekat dan kerabatnya
. Baru tatkala memasuki tahun 613 dia mulai tampil di depan publik. Begitu dia sedikit demi sedikit punya pengikut, penguasa Mekkah memandangnya sebagai orang berbahaya, pembikin onar. Di tahun 622, cemas terhadap keselamatannya, Muhammad hijrah ke Madinah, kota di utara Mekkah berjarak 200 mil. Di kota itu dia ditawari posisi kekuasaan politik yang cukup meyakinkan.

Peristiwa hijrah ini merupakan titik balik penting bagi kehidupan Nabi. Di Mekkah dia susah memperoleh sejumlah kecil pengikut, dan di Medinah pengikutnya makin bertambah sehingga dalam tempo cepat dia dapat memperoleh pengaruh yang menjadikannya seorang pemegang kekuasaan yang sesungguhnya. Pada tahun-tahun berikutnya sementara pengikut Muhammad bertumbuhan bagai jamur, serentetan pertempuran pecah antara Mektah dan Madinah. Peperangan ini berak
hir tahun 630 dengan kemenangan pada pihak Muhammad, kembali ke Mekkah selaku penakluk. Sisa dua setengah tahun dari hidupnya dia menyaksikan kemajuan luar-biasa dalam hal cepatnya suku-suku Arab memeluk Agama Islam. Dan tatkala Muhammad wafat tahun 632, dia sudah memastikan dirinya selaku penguasa efektif seantero Jazirah Arabia bagian selatan.

Suku Bedewi punya tradisi turun-temurun sebagai prajurit-prajurit yang tangguh dan berani. Tapi, jumla
h mereka tidaklah banyak dan senantiasa tergoda perpecahan dan saling melabrak satu sama lain. Itu sebabnya mereka tidak bisa mengungguli tentara dari kerajaan-kerajaan yang mapan di daerah pertanian di belahan utara. Tapi, Muhammadlah orang pertama dalam sejarah, berkat dorongan kuat kepercayaan kepada keesaan Tuhan, pasukan Arab yang kecil itu sanggup melakukan serentetan penaklukan yang mencengangkan dalam sejarah manusia. Di sebelah timurlaut Arab berdiri Kekaisaran Persia Baru Sassanids yang luas. Di baratlaut Arabia berdiri Byzantine atau Kekaisaran Romawi Timur dengan Konstantinopel sebagai pusatnya.

Ditilik dari sudut jumlah dan ukuran, jelas Arab tidak bakal mampu menghadapinya. Namun, di medan pertempuran, pasukan Arab yang membara semangatnya dengan sapuan kilat dapat menaklukkan Mesopotamia, Siria, dan Palestina. Pada tahun 642 Mesir direbut dari genggaman Kekaisaran Byzantine, dan sementara itu balatentara Persia dihajar dalam pertempuran yang amat menentukan di Qadisiya tahun 637 dan di Nehavend tahun 642.

Tapi, penaklukan besar-besaran --di bawah pimpinan sahabat Nabi dan penggantinya Abu Bakr dan Umar ibn al-Khattab-- itu tidak menunjukkan tanda-tanda stop sampai di situ. Pada tahun 711, pasuka
n Arab telah menyapu habis Afrika Utara hingga ke tepi Samudera Atlantik. Dari situ mereka membelok ke utara dan menyeberangi Selat Gibraltar dan melabrak kerajaan Visigothic di Spanyol.

Sepintas lalu orang mesti mengira pasukan Muslim akan membabat habis semua Nasrani Eropa. Tapi pada tahun 732, dalam pertempuran yang masyhur dan dahsyat di Tours, satu pasukan Muslimin yang telah maju ke pusat negeri Perancis pada akhirnya dipukul oleh orang-orang Frank. Biarpun begitu, hanya dalam tempo secuwil abad pertempuran, orang-orang Bedewi ini -dijiwai deng
an ucapan-ucapan Nabi Muhammad- telah mendirikan sebuah empirium membentang dari perbatasan India hingga pasir putih tepi pantai Samudera Atlantik, sebuah empirium terbesar yang pernah dikenal sejarah manusia. Dan di mana pun penaklukan dilakukan oleh pasukan Muslim, selalu disusul dengan berbondong-bondongnya pemeluk masuk Agama Islam.

Ternyata, tidak semua penaklukan wilayah itu bersifat permanen. Orang-orang Persia, walaupun masih tetap penganut setia Agama Islam, merebut kembali kemerdekaannya dari tangan Arab. Dan di Spanyol, sesudah melalui peperangan tujuh abad lamanya akhirnya berhasil dikuasai kembali ole
h orang-orang Nasrani. Sementara itu, Mesopotamia dan Mesir dua tempat kelahiran kebudayaan purba, tetap berada di tangan Arab seperti halnya seantero pantai utara Afrika. Agama Islam, tentu saja, menyebar terus dari satu abad ke abad lain, jauh melangkah dari daerah taklukan. Umumnya jutaan penganut Islam bertebaran di Afrika, Asia Tengah, lebih-lebih Pakistan dan India sebelah utara serta Indonesia. Di Indonesia, Agama Islam yang baru itu merupakan faktor pemersatu. Di anak benua India, nyaris kebalikannya: adanya agama baru itu menjadi sebab utama terjadinya perpecahan.

Apakah pengaruh Nabi Muhammad yang paling mendasar terhadap sejarah ummat manusia? Seperti ha
lnya lain-lain agama juga, Islam punya pengaruh luar biasa besarnya terhadap para penganutnya. Itu sebabnya mengapa penyebar-penyebar agama besar di dunia semua dapat tempat dalam buku ini. Jika diukur dari jumlah, banyaknya pemeluk Agama Nasrani dua kali lipat besarnya dari pemeluk Agama Islam, dengan sendirinya timbul tanda tanya apa alasan menempatkan urutan Nabi Muhammad lebih tinggi dari Nabi Isa dalam daftar. Ada dua alasan pokok yang jadi pegangan saya. Pertama, Muhammad memainkan peranan jauh lebih penting dalam pengembangan Islam ketimbang peranan Nabi Isa terhadap Agama Nasrani. Biarpun Nabi Isa bertanggung jawab terhadap ajaran-ajaran pokok moral dan etika Kristen (sampai batas tertentu berbeda dengan Yudaisme), St. Paul merupakan tokoh penyebar utama teologi Kristen, tokoh penyebarnya, dan penulis bagian terbesar dari Perjanjian Lama.

Sebaliknya Muhammad bukan saja bertanggung jawab terhadap teologi Islam tapi sekaligus juga terhadap pokok-pokok etika dan moralnya. Tambahan pula dia "pencatat" Kitab Suci Al-Quran, kumpulan wahyu kepada Muhammad yang diyakininya berasal langsung dari Allah. Sebagian terbesar dari wahyu ini disalin dengan penuh kesungguhan selama Muhammad masih hidup dan kemudian dihimpun dalam bentuk yang tak tergoyangkan tak lama sesudah dia wafat. Al-Quran dengan demikian
berkaitan erat dengan pandangan-pandangan Muhammad serta ajaran-ajarannya karena dia bersandar pada wahyu Tuhan. Sebaliknya, tak ada satu pun kumpulan yang begitu terperinci dari ajaran-ajaran Isa yang masih dapat dijumpai di masa sekarang. Karena Al-Quran bagi kaum Muslimin sedikit banyak sama pentingnya dengan Injil bagi kaum Nasrani, pengaruh Muhammad dengan perantaraan Al-Quran teramatlah besarnya. Kemungkinan pengaruh Muhammad dalam Islam lebih besar dari pengaruh Isa dan St. Paul dalam dunia Kristen digabung jadi satu. Diukur dari semata mata sudut agama, tampaknya pengaruh Muhammad setara dengan Isa dalam sejarah kemanusiaan.

Lebih jauh dari itu (berbeda dengan Isa) Muhammad bukan semata pemimpin agama tapi juga pemimpin duniawi. Fakta menunjukkan, selaku kekuatan pendorong terhadap gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab, pengaruh kepemimpinan politiknya berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu.

Dari pelbagai peristiwa sejarah, orang bisa saja berkata hal itu bisa terjadi tanpa kepemimpinan khusus dari seseorang yang mengepalai mereka. Misalnya, koloni-koloni di Amerika Selatan mungkin saja bisa
membebaskan diri dari kolonialisme Spanyol walau Simon Bolivar tak pernah ada di dunia. Tapi, misal ini tidak berlaku pada gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab. Tak ada kejadian serupa sebelum Muhammad dan tak ada alasan untuk menyangkal bahwa penaklukan bisa terjadi dan berhasil tanpa Muhammad. Satu-satunya kemiripan dalam hal penaklukan dalam sejarah manusia di abad ke-13 yang sebagian terpokok berkat pengaruh Jengis Khan. Penaklukan ini, walau lebih luas jangkauannya ketimbang apa yang dilakukan bangsa Arab, tidaklah bisa membuktikan kemapanan, dan kini satu-satunya daerah yang diduduki oleh bangsa Mongol hanyalah wilayah yang sama dengan sebelum masa Jengis Khan.

Ini jelas
menunjukkan beda besar dengan penaklukan yang dilakukan oleh bangsa Arab. Membentang dari Irak hingga Maroko, terbentang rantai bangsa Arab yang bersatu, bukan semata berkat anutan Agama Islam tapi juga dari jurusan bahasa Arabnya, sejarah dan kebudayaan. Posisi sentral Al-Quran di kalangan kaum Muslimin dan tertulisnya dalam bahasa Arab, besar kemungkinan merupakan sebab mengapa bahasa Arab tidak terpecah-pecah ke dalam dialek-dialek yang berantarakan. Jika tidak, boleh jadi sudah akan terjadi di abad ke l3. Perbedaan dan pembagian Arab ke dalam beberapa negara tentu terjadi -tentu saja- dan nyatanya memang begitu, tapi perpecahan yang bersifat sebagian-sebagian itu jangan lantas membuat kita alpa bahwa persatuan mereka masih berwujud. Tapi, baik Iran maupun Indonesia yang kedua-duanya negeri berpenduduk Muslimin dan keduanya penghasil minyak, tidak ikut bergabung dalam sikap embargo minyak pada musim dingin tahun 1973 - 1974. Sebaliknya bukanlah barang kebetulan jika semua negara Arab, semata-mata negara Arab, yang mengambil langkah embargo minyak.

Jadi, dapatlah kita saksikan, penaklukan yang dilakukan bangsa Arab di abad ke-7 terus memainkan peranan penting dalam sejarah ummat manusia hingga saat ini. Dari segi inilah saya menilai adanya kombinasi tak terbandingkan antara segi agama dan segi duniawi yang melekat pada pengaruh diri Muhammad sehingga saya menganggap Muhammad dalam arti pribadi adalah manusia
yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia.

Buku "Sejarah Hidup Muhammad" karangan Muhammad Husain Haekal. Bisa dibaca dengan mengklik link dibawah ini.


Selengkapnya...

Sabtu, 11 Juli 2009

Biografi Ayatullah Ruhullah Khomeini

Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan

Ayatullah al-Uzmah Sayyid Ruhullah al-Musavi al-Khomeini dilahirkan di kota Khomein, dekat Isfahan, sekitar 300 kilometer selatan Taheran, pada 24 September 1902 (20 Jamadi-al-Thani 1320 H), bertepatan dengan hari ulang tahun Hazrat Fatimah, putri Nabi Muhammad SAW dan Istri Ali Bin Abi Thalib (Imam Syiah Pertama). Nama Khomeini berasal dari nama kota Khomeyn. Di Iran memang ada semacam tradisi menggunakan nama kota/daerah sebagai nama orang, biasanya dengan menambahkan akhiran”i”. Contoh lain, Rafsanjan menjadi Rafsanjani, Tehran menjadi Tehrani dan sebagainya. Sedangkan gelar Sayid menunjukan adanya garis keturunan dari Nabi Muhammad SAW.1

Ia berasal dari keluarga yang sangat religius. Baik ayahnya, Ayatullah Sayyid Mustafa al-Musavi al-Khomeini,kakeknya Sayyid Ahmad Hindi lahir di kintur, maupun kakek ayahnya, Sayyid Din Ali Syah, dikenal sebagai tokoh agama yang disegani pada masanya. Keluarga kakeknya adalah keluarga ulama terkemuka, Mir Hamed Husein Hindi Nesyaburi, yang karyanya, Abaqat Al-Anwar, jadi kebanggan Syiah India. Begitu pula kakek dari ibunya (Hajar Agha Khanon), Ayatullah Aqa Mirza Ahmad Khwasari. Sayyid Din Ali Syah adalah seorang cendikiawan muslim (Religious Scholar) dari Nishapur atau Nesyhabur (Iran timur Laut) yang bermigrasi ke Kashmir di mana kemudian ia menetap untuk selamanya . Anaknya Sayyid Ahmad Hindi, meninggalkan India pada sekita 1830 dan mengembara ke Karbala dan Najab (dua kota suci ummat Islam syiah Irak) kemudian mngunjungi kota Khumayn untuk memenuhi undangan temannya, Yusuf Khan. Di Khumayn ia menikah dengan adik yusuf Khan yaitu Sakinah, dan memperoleh empat orang anak (seorang laki-laki, tiga perempuan). Anak laki-lakinya, Sayyid Mustafa al-Musavi yang lahir pada tahun 1856. Mustafa belajar di Najaf di bawa bimbingan Mirza Hasan Syirasi kemudian pada tahun 1894 ia kembali ke Khomeyn. Sayyid Ahmad meninggal dunia pada saat Mustafa berumur 8 tahun. Sayyid Mustafa juga mendapat bimbingan dari ayatullah Aqa MirzaAhmad Khwansari dan kemudia menikah dengan anak Mirza Ahmad, Hajar Agha Khanom. Sayyid Mustafa dikaruniai anak sebanyak enam orang dan Ruhullah Khomeini yang bungsu dan satu-satunya yang panggilannya adalah Khomeini.


Pada tahun 1903, Ayah Ruhollah meninggal dunia pada usia 42 tahun. Kabarnya sayyid Mustafa dibunuh oleh dua orang bernama Ja’far Quli Khan dan Ridha Quli Sultan, agen-agen dinasti Qajar(1796-1926). Waktu itu Sayyid Mustafa sedang dalam perjalanan menuju ibukota provinsi Arak untuk menemui Gubernur Adhuh al-Sultan, guna melaporkan situasi yang tidak aman di kota Khomayn, jenazah Sayyid Mustafa segera di bawah ke Najaf. Paara Ulama Taheran, Arak, Isfahan, Golpaygan, dan Khumayn, mengadakan upacara untuk mengenang kematian sayyid Mustafa.

Periode bergolak ini tidak pelak lagi mwninggkan kesan pada Ruhullah mudaa, kendatipun di disayangi oleh Sahebeh, bibinya yang tinggal bersama keeluarga ruhullah. Sahibeh memiliki mental dan pikiran yang kuat, keehidupan Ruhullah di dominasi Sahebeh dan Ibunya. Keduanya meeninggal keetika Ruhullah berusia enam belas tahun.

Pada usia dua puluh tuju tahun, khomeini menikah dengan Batul, putri seorang Ayatullah dari Taheran. Mereka dikarunia lima anak, dua putra dan tiga putri.

Pendidikan

Sebagai anak, Khomeini belajar bahasa Arab, syair Perssia dan kaligrafi disekolah neegeri dan ‘maktab’. Maktab, tempat menulis dalam bahasa arabnya, sebenarnyaa meupakan ‘tempat membaca’ di Iran. Seorang mullah atau wanita setempatmengajarkan abjad daan pelafalan huruf-huruf Arab. Anak-anak duduk di lantai, dan menirukan apa saja yang dikatakan sang guru. Disiplin di maktab sangatlah keras. Kalau diatur dengan standar dewasa ini, hukuman untuk salah melafalkan kata-kata Al-Quran disana amat keras.

Seperti anak-anak lain, Ruhullah diajar menghapal bebeerapa surah terakhir Al-Quran dan beberapa frase serta kata Arab tentang Nabi dan Para Imam. Selain berbagai buku riwayat para imam dan sebuah buku hadis NabiMuhammad SAW, diajarkan pula sejaarah versi Syia’ah. Misalnya ada keyakinan bahwa Nabi maupun keluarga Nabi (termasuk para Imam Syiaah) wafat secara tidak alamiah. Ini ditunjukan dengan perkataan yang dinisbahkan kepada para imam Syiah, kami kalau tidak diracun , yaa dibunuh.

Perjuangan antara kebenaran dan kebatilan ini, atau melihat segalanya dengan hitam dan putih, membekas pada jiwa dan pkiran ruhullah. Kosa kata dan rasa dizalimi, senantiasa menyertainya sepanjang hayatnya. Jika menyangkut rasa tragedi yang mendalam, tak ada wilayah yang kelabu. Ruhullah mendengar hal ini berulang kali dalam hidupnya, dari rumah sampai maktab, mesjid dan madrasah. Dalam interprets di sejarah seperti ini, Nabi Muhammad dizalimi musuh-musuhnya. Putrinya Fatimah, yang dihormati oleh kaum Syiah, diperlakukan secara tidak adil oleh Umar. Suaminya Ali diperlakukan secara tidak adil oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman yang merampas haknya untuk menggantikan Nabi seabagi khalifah. Kaum Sunni hanya menganggap Ali sebagai Khalifah ke-empat setelah nabi Muhammad SAW, sedangkan kaum Syiah memandang Ali sebagai Imam pertama. Setelah diperlakukan secara tidak adil, Ali kemudian dibunuh. Merupakan tugas segenap kaum Syiah untuk mengatasi ketidakadilan-ketakadilan semacam itu.

Menjelang dewasa, Khomeini mulai belajar agama dengan lebih serius. Ketika berusia lima belas tahun, dia mulai belajar tata bahasa Arab kepada saudaranya, Murtaza, yang belajar bahasa Arab dan teologi Isfahan. Khomeini tekun belajar, punya bakat khusus dalam menulisdan menyusun syair Persia. Dia banyak belajar syair-syair klasik, dengan penekanan setidak-tidaknya pertama-pertama pada syair moral dan etika seperti klasik besar’Golistan Sa’di’ (Taman Mawar). Paduan liririsme dan mistitisme Hafes, juga diajarkan. Hampir tak ada penyair besar yang tidak dicatat oleh Khomeini dalam tulisan-tulisannya dikemudian hari. Nader-e Naderpour, seorang penyair Iran kontemporer yang bertemu Khomeini pada awal 1960-an di Qum, berkata: kami membacakan syair selama empat jam. Setiap baris pertama yang saya bacakan dari seorang penyair, dia membacakan baris keduanya. Khomeini juga memperlihtkan minat pada kaligrafi Persia, mempelajarinya dari seorang Syaikh yang bernama Hamzah Mahallati. Inilah kecakapan yang dipraktikkannya, bahkan ketika sudah usia tua.

Khomeini merupakan produk Iran tengah, yang selama berabad-abad telah melahirkan ulama-ulama dan ahli-ahli agama. Dan bergurunya Khomeini kepada Mahallati merupakan bagian dari tradisi ini. Yang pada waktu itu didambakan oleh Khomeini muda Mujtahid. Khomein bukan lagi lahan yang subur bagi aspirasinya. Najaf menjadi pilihan yang ideal. Namun runtuhnya imperium ‘Utsmaniah, dan digantikannya imperium ini di Irak olem mandat Inggris, menyebabkan terjadinya pergolakan politik. Lagi pula Khomeini belum cukup pendidikannya untuk pergi ke Najaf. Di pihak lain Isfahan, yang merupakan pusat ulama Syiah selama beberapa abad, merupakan kota penting yang letaknya sangat dekat letaknya dengan Khomein. Khomeini memutuskan untuk pergi ke Isfahan. Begitu di Isfahan, dia mendengar Syaikh ‘Abdul Karim Ha’ri Yazdi, seorang ulama terkemuka yang meninggalkan Karbala, untuk menghindari pergolakan politik, mendorang banyak ulama terkemuka untuk menyatakan penentangan pada kepada pemerintah Inggris di Irak. Hairi tinggal di kota Sultanabad atau Arak, dekat Isfahan. Bagi siswa yang impiaannya adalah Najaf, ini merupakan peluang yang menarik. Khomeini berusia tujuh belas tahun ketika berangkat ke Arak.

Di Irak, Ha’eri mendidik satu generasi ulama terkemuka disebuah madrasah yang mendapat bantuan dari Haj Aqa Mohsen araki (1325/1907), seorang ulama anti kontitusi terkemuka, Sebagai seorang yang baru dalam lingkungan ilmu, Khomeini belajar ‘Suyuti’, sebuah teks tata bahasa Arab karya ulama Mesir, Jalaluddin Suyuti (atau As-Suyuti). Ketika belajar Khomeini hanya sedikit Kompromi, suatu sifat yang senatiasa menyertainya sepanjang hayatnya . Suatu hari, keyika sedang belajar suyuti bersama siswa lain dihalaman sekolah, Ha'eri sedang mengajar studi lanjutan kepada talabeh lain. Khomeini terusik oleh kebisingannya. Karena tak mau bertele-tele, Khomeini berpaling ke Hae’ri dan meminta dengan sopan namun tegas, agar berbicara lebih lembut. Ha’eri terkejut ditegur seperti ini oleh seorang murid. Khomeini saat itu merupakan talabeh yang sudah berpengalaman dan terdidik, serta memakai serban hitam.

Dengan runtuhnya imperium ‘Utsmania, ulama terkemuka ini enggan tinggal di kota-kota yang ada dibawah mandat inggris. Namun Qum dipandang sebagai kota Syiah yang pas. Sebagai pusat Syiah awal Qum merupakan tempat suci Ma,sumeh, saudara perempuan Imam Ridha, Imam kedelapan Syiah. Kebangkitan Qum sebagai pusat teologi utama pada hakekatnya berkaitan dengan Ha’eri, yang mendapat sambutan hangat ketika berziarah ke kota ini pada 1921. kemudian dia diundang untuk pindah ke Qum. Setelah Ha'eri pindah ke Qum, Ahmad Syah, raja terakhir Qajar, megadakan perjalanan khusus untuk menyambutnya. Segera saja, banyak ulama dari arak maupun dari kota-kota lain berdatangan ke Qum, dan mengubah Qum menjadi pusat teologi yang maju, yang mempunyai guru-guru untuk semua cabang ilmu Islam. Sekitar lima bulan kemudiaan, Khomeini yang pada waktu itu sedang belajar Motawwal, sebuah buku retorika dan semantik, mengikuti jejak Ha,eri pergi ke Qum, dan tinggal sekolah teologi dekat tempat suci itu.

Salah seorang guru pertama Khomeini ditempaat tinggalnya yang baru adalah Muhammad Reza Masjed Syahi. Dari Syahi inilah dia belajar retorika dan syair. Dan karena Syahi pula dia jadi tertarik pada topik baru, teori evolusi Darwin yang digunakan oleh kaum sekularis anti ulama untuk mencela dan mengejek ulama. Masjed Syahi adalah satu diantara banyak mullah yang berupaya membantah Darwin. Khoemini segera mempelajari dan mendiskusikan buku gurunya, kritik terhadap filsafat Darwin.

Khomeini menyelesaikan studi fiqih dan ushul dengan seorang guru dari Kasyan, yang sebelas tahun lebih tua darinya, yaitu Ayatulllah Ali Yasrebi Kasyani (meninggal 1959). Kemudian Khomeini mengikuti kelas Ha’eri. Kalau Orang mengikuti kuliah seperti itu, berari ia memasuki tingkat tiga . Ha’eri mengajar Dars-e Kharej (studi diluar teks). Pada tingkat ini tidak ada buku pegangan, para siswa berusaha membentuk pendapatnya sendiri mengenai soal-soal hukum. Inilah tahap pendidikan Final Khomeini. Pada awal tahuan 1930-an, dia menjadi mujtahid dan menerima ijazah untuk menyampaikan hadis dari empat guru terkemuka. Yang pertama dari kempat guru itu adalah Muhsin Amin Ameli (wafat 1952), seorang ulama terkemuka dari Libanon. Yang kedua adalah Syaikh Abbas Qumi (wafat 1959) ahli hadis terkemuka dan sejarahwan Syiah. Qumi adalah penulis yang tulisannya digemari digemari di Iran Modern, terutama bukunya yang berjudul Mafatih Al-Jinan (kunci surga). Mafatih Al-Jinan diberikan kepada setiap sukarelawan perang setelah revolusi, suatu praktek yang salah ditafsirkan lawan Khomeini. Guru ketiganya adalah Abdul Qasim Dehkordi Isfahani (wafat 1934) seorang mullah terkemuka di Isfahan. Guru keempatnya adalah Muhammad Reza Masjed Syahi (wafat 1943) yang datang di Qum pada 1925 karena protes menentang kebijakan anti-Islam Reza Syah.

Setelah studi hukum dan fiqih di Qum, Khomeini juga mempelajari dua tradisi Islam yang tidak lazim yaitu irfan dan hikamah. Pelajaran inilah sangat besar dampaknya pada pandangan Khomeini mengenai dirinya dan dunia . Irafan (gnosis adalah pengetahuan mistis dunia bathiniah manusia yang mengupayakan keakraban dengan Allah) merupakan tradisi spiritual yang terdapat terutama di dunia Syiah. Hikmah yang diwarnai oleh sistem pemikiran yang sepenuhnya logis dan skolastik, dan juga oleh eksplorasi pengalaman tentang hakekat realitas puncak. Perwujudan lain irfan, yang juga penting sehubungan dengan Khomeini, adalah syair mistis persia, kendati tidak terbatas pada penyair Syiah saja, tapi juga pada penyair Sunni yaitu Jalaluddin Rumi dan Hafiz.

Setelah mempelajari filsafat, Khomeini mulai mempelajari tasawuf. Dia terutama tertarik kepada syarh-i fushush, sebuah ulasan oleh Syarifuddin Daud Qaisari (wafat 1450) atas fushush Al-Hikmah, salah satu karya Ibn Arabi yang memaparkan secara mistis sifat-sifat Allah yang tercermin dalam sifat para Nabi sejak Adam hingga Muhammad. Pada 1937, Khomeini menulis ulasan mengenai fushush tersebut.

Khomeini terpengaruh dari salah seorang gurunya , Syahabadi. Khomeini pernah berkata pada Syahabadi; yang anda katakan tidak ada dalam buku . Dari mana itu? Jawab Syahabadi; itu pendapatku sendiri. Syahabadi adalah seseorang yang tak suka bersikap diam. Dia salah seorang anggota kelompok kecil mullah yang aktif menentang kebijakan Reza Syah, dan juga mempengaruhi pandangan politik Khomeni. Syahabadi menekankan pentingnya perencanaan untuk mendidik dan mengorganisasikan kaum muslimin.

Ketika mengulas sebuah yang dikenal dengan nama Doa Fajar, Khomeini menunjukkan keselarasan syariat dengan logika mistisme. Dia mengatakan tidak ada kontradiksi intrinsik antara irfan dan tasawuf di satu pihak, dan berpegang teguh pada syariat di pihak lain. Kepribadian Khomeini berkembang selaras dengan tradisi Islam. Sebagai pemuda yang cerdas, introvet dan kecewa (kepada keadaan yang ada disekelilingnya ) ditambah dengan kemunduran dan keruntuhan kemapanan ulama, maka pemenuhan pencerahan batin lewat mistisme merupakan saat yang menentukan bagi Khomeini. Dia tak puas dan tak terpenuhi oleh agama versi ortodoks yang begitu lazim dikalangan mayoritas ulama.

Khomeini biasanya menulis dengan bahasa yang sangat sederhana. Dan tulisan mistisnya senantiasa dibungkus dengan bahasa simbolik. Posturnya di publik sebagai mujtahid sejak awal selalu selaras dengan kecenderungan umum ulama. Dia menghindari subyek yang mencurigakan seperti filsafat dan mistisme, demi disiplin umum seperti hukum, fiqih, ilmu Al-Quran, dan hadis Nabi serta para Imam. Dalam beberapa hal, Khomeini adalah salah satu diantara sedikit orang yang menjad faqih terkemuka, mencapai tingkat tertinggi dalam mistisme teoritis, dam sekaligus menjadi guru filsafat Islam yang sangat dihormati. Dia juga dipandang sebagai praktisi islam militan terkemuka.

Konsep manusia sempurna menguasai imajinasi Khomeini, karena memberi Khomeini cara baru yang lebih efektif untuk mengungkapkan kemunduran Islam. Dia juga menerima pandangan kaum sufi seperti pra-eksistensi Nabi. Kaum Syiah percaya bahwa setelah wafatnya Nabi, cahaya beralih ke Ali, dan melalui Ali dan beralih kepada Imam Ahlul Bait. Logos merupakan hal yang sentral bagi pemahaman mistis mengenai alam semesta dan kedudukan manusia di alam semesta.

Ketika mengulas Doa Fajar Khomeini mengutip sufi besar Islam seperti Ibn Arabi, Mullah Shadra, Hafizh da Rumi, untuk mendukung pandangannya bahwa: “ Manusia sempurna adalah pemegang rantai eksistensi, yang melengkapi siklusnya… Dia adalah tanda agung Allah yang diciptakan dalam imaji Allah. Setelah menerima pandangan manusia sempurna Ibn Arabi, Khomeini kemudian berpaling ke pahlawannya, yaitu Mullah Shadra. Dan teosofi transendental (Hikmat-e Muta’aliyeh) Mullah Shadra ini berdasar pada irfannya ibn Arabi, filsafat pencerahan (falsafeh-ye isyraq) Suhrawardi, filsafat rasional (falsafeh-ye masyya’I) pengikut Ibn Sina dan teologi (kalam) Syiah. Mullah Shadra telah menelaah persoalan ini sebagai perjalanan intlektual dan spiritual, dan merasionalisasikan argumennya dengan penjelasan mistis dan filosofis. Khomeini melangkah lebih jauh. Baginya perjalanan pertama adalah dari makhluk ke Tuhan dimana sang musafir yang mencari kebenaran berupaya keras meninggalkan wilayah batas-batas manusia. Perjalanan keduanya adalah dengan Tuhan dalam Tuhan. Dia akan mengetahui keindahan nama-nama dan sifat Allah, menyaksikan berbagai perwujudan sejatinya, pengaruh dan kekuasaanya. Perjalanan ketiganya adalah perjalanan dimana sang musafir kembali ke masyarakat, namun tak lagi terpisah dengan Tuhan karena Dia kini melihat zat mahakuasa-Nya. Perjalanan terakhirnya adalah dimana sang musafir mendafat sifat-sifat Tuhan, sehingga dia dapat membimbing dan membantu orang lain mencapai Tuhan. Inilah tahap yang sangat penting. Disinilah Wilayat dan kenabian terealisasikan, memberi sang musafir misi penyampaian firman Allah. Dia harus memandu manusia dari yang banyak ke yang tunggal, dari penghujatan ke iman, dari kesyirikan dan tauhid, dari kekurangan ke sempurnaan. Yang lebih penting dengan menegakkan kebijakan yang benar, pemerintahan yang mutlak adil dan pemerintahan Tuhan, manusia sempurna memandu masyarakat menuju kesempurnaan mutlak.

Ketertarikan Pada politik.

Untuk menerapkan hukum Islam, dan mendorong masyarakat menuju kesempurnasas, Khomeini harus mendapatkan sarana yang diperlukan. Di pusat teologi, yang dikemudian hari digambarkan oleh Khomeini sendiri sebagai sarang ular, yang menjadi norma adalah vaksionisme, lobi dan populisme. Otoritas moral, imbalan finansial dan pembunuhan karakter disingkirkan. Guru dan murid merupakan aktor utama yang dapat mengubah guru menjadi Ayatullah besar, atau menghancurkannya. Dia kurang memperhatikan diskusi yang dimaksudkannya sekedar diskusi. Dia mengemukakan topik dengan cara yang jelas dan mantap. Pertama dengan menjelaskan pendapat yang lain mengenai topik itu, dan kemudian pendapatnya sendiri, sebelum mencari argumen.

Perhatian Khomeini pada mistisisme, dan non konformitasnya, tidak menghalangi perhatiannya kepada apa yang sedang berlangsung di Qum dan di dalam negeri pada umumnya.didorong oleh apa yang dilihatnya sebagai kemunduran moral di iran, pada tahun 1930-an dia mulai mengajar etika. Dikemudian hari dia mengatakan betapa periode sekarang ini orang’…pada egois, lemah dan melempem,’sehingga’ mereka tak mampu menghadapi kediktatoran Reza Syah’. Bagi Khomeini, bangsanya tak memiliki moral yang diperlukan untuk mengatasi kemunduran ini, dan Iran sebagai bangsa dengan demikian jadi terbengkalai. Khomeini memberikan kuliah di sekolah Faiziyeh Qum. Khomeini memilih tempat umum yang terkenal disebelah makam Fathimah di Bazar. Dia memilih hari kamis dan jum’at, ketika beribu-ribu peziarah berdatangan ke kota itu.Ini menjamin tersebarnya reputasi Khomeini di luar kalangan agama. Memang banyak orang berdatangan dari kota-kota dan dusun-dusung di sekitarnya, dan bahkan dari Teheran, hanya untuk mendengarkan ceramahnya. Pihak berwenang segera melihat bahwa Khomeini merupakan ancaman bagi ketertiban umum. Mereka lalu berupaya agar Khomeini tidak memberikan ceramah, sekalipun di sekolah teologi. Menurut muridnya Khomeini menjawab “saya berkewajiban melanjutkan ceramah ini. Jika polisi hendak menghentikannya, polisi harus datang sendiri dan mencegah jangan sampai ada ceramah”. Meski polisi tidak menyambut himbauan Khomeini agar campur tangan langsung, namun polisi mulai melakukn penekanan langsung atas diri Khomeini, sehingga Khomeini terpaksa memindahkan ceramahnya dari Faiziyeh, dan kemudian melanjutkan kuliahnya. Tak seperti kebanyakan Mullah yang berupaya menakuti dengan ancaman hukuman di neraka dan mendorong mereka dengan mengiming-iming surga, Khomeini berceramah tentang baik dan buruk, kesadaran agama, disiplin diri dan sebab-sebab kemunduran dalam Islam. Setelah mengahadapi tekanan pemerintah pada tahun 1930-an, Khomeini akhirnya mengalah pada tekanan sesama ulama pada akhir tahun 1940-an, dan tak lagi memberikan kuliah umum. Sejak itulah dia mulai belajar fikih, meskipun tetap mengajar akhlak, tasawuf dan filsafat secara pribadi. Mereka memandang putraku tidak bersih agamanya, hanya karena aku mengajar filsafat dan tasawuf. Keluhnya sedih bertahun-tahun kemudian. Ali Akbar Hasyemi Rafsanjani, murid Khomeini yang kemudian menjadi presiden Iran, berkata bahwa Khomeini dipaksa uzlah oleh orang-orang yang menentang Khomeini mengajar filsafat, termasuk Ayatullah Burujerdi. Selama hampir tiga tahun , Khomeini mengajar di rumah, seringkali menyembunyikan dirinya sedang mengajar filsafat dan tasawuf. Namun, tiga diantara murid dekatnya, Ayatullah Murtadha Mutahhari, Ayatullah Husein ‘Ali Montazeri, dan Ayatullah Javadi Amuli, tetap melanjutkan kuliah pribadi dibidang teosofi transendental dengan Khomeini.

Khomeini memasuki debat agama dan politik nasional sekalipun tidak terang-terangan, setelah perang Dunia kedua, ketika Reza Syah tak lagi berkuasa. Untuk menghadapi pemerintahan Reza Syah yang anti ulama, para ulama setelah sebelumnya berjuang, merasa tak mempunyai banyak pilihan kecuali untuk tunduk. Suatu masa yang begitu sulit, sampai-sampai rezim Syah tentu akan menghancurkan Qum, jelas seorang rekan dekat Khomeini, Ayatullah Saduqi. Pendekatan pasif ini dibenarkan oleh gagasan taqiyah dalam Syiah, untuk melindungi orang Islam ketika dalam keadaan bahaya yang tak mungkin diatasinya. Tak syak lagi selama pemerintahan Reza Syah, inilah sikap para ulama. Dan ada bukti bahwa Khomeini sendiri termasuk yang bersikap seperti ini. Seorang muridnya menuturkan, ketika Bafki (seorang ayatullah yang tak disukai Reza) balik ke Qum, setelah di bunag, Khomeini mengunjunginya. Bafqi marah karena mullah membiarkan pihak berwenang menghancurkan Masjid Imam di Qum untuk pembangunan jalan. Bafki berkata kepada Khomeini : ‘anda ada di sini, dan membiarkan mereka menghancurkan mesjid Imam?’ jawab Khomeini : ‘Taqiyah adalah jalanku, dan jalan leluhurku’ (At-taqiyyatu dini wa dinu aba’I).

Pada periode pasca Syah, Khomeini tidak bisa bertaqiyah. Pernyataan politik pertamanya direkam pada 1944 dalam buku tamu disebuah mesjid di Yazd. Pada bagian atas halaman dia menulis “Untuk dibaca dan diamalkan” dia mengawali dengan ayat Al Qur’an : “Katakanlah, aku nasehatkan kepadamu satu hal, agar kamu bangkit demi Allah, bersama-sama atau sendiri-sendiri”. Dia menekankan gagasan bangkit demi atau dengan nama Allah SWT. Dia mengomentari apa yang telah terjadi pada bangsa yang tidak bangkit atas nama Allah itu. Karena egois dan mengabaikan bangkit karena Allah, maka hari-hari kita sekarang ini jadi gelap, dan kitapun jadi sasaran dominasi dunia. Karena egois maka dunia Muslim jadi terongrong. Karena kecewa melihat orang muslim, Khomeini mendesak mereka untuk belajar ‘tentang dedikasi kepada agama’ dari kaum Baha’i (meskipun kaum ini dianggap sesat). Tak lama kemudia, Khomeini mengemukakan pandangan nya mengenai pemerintahan Reza Syah dalam karya politik pertamanya, Kasyf Al Asrar (menyingkap rahasia), yang diselesaikannya pada tahun 1942.

Dengan menggelar gaya polemik yang didapatnya di sekolah teologi, Khomeini berbicara secara retoris bahwa Reza Syah adalah ‘prajurit buta huruf yang tahu bahwa jika dirinya tak menindas mereka (ulama),dan membungkam mereka dengan bayonet, maka mereka akan menentang perlakuannya terhadap negara dan agama’. Kasyf Al Asrar ditujukan terutama kepada Reza Syah. Sasaran utamanya adalah mereka yang bekerjasama dengan Reza Syah., khususnya ulama penghianat. Memang ini merupakan tanggapan langsung terhadap serangan atas kemampanan ulama dalam sebuah pamflet yang berjudul Asrar-e Hezar Saleh (rahasia seribu tahun), yang ditulis Hakamizadeh, editor Homayoun. Khomeini dikemudian hari bertutur bahwa ketika ia melihat karya ini, dia jadi marah. Sekalipun pada waktu itu matanya sedang sakit, Khomeini tak melihat alternatif lain, selain cuti mengajar selama empat puluh delapan hari untuk menjawab tuduhan itu. Mengenai Hakamizadeh dan orang yang seperti dia, Khomeini berpendapat bahwa sementara dunia dilanda perang, dan berbagai bangsa sedang berjuang menyelamatkan diri, ada beberapa orang yang tak punya pikiran dan jiwa, yang mencoba sekuat daya menyebarkan perpecahan dan fitnah, bukannya membantu saudara sebangsa mereka yang terdesak untuk berperang. Orang-orang seperti ini telah melakukan ‘langkah jahat’, seperti menyebarkan gagasan beracun mereka yang memfitnah ulama. Khomeini merasa berkewajiban membuat fakta-fakta ini menjadi perhatian orang. Sehingga sumber-sumber korupsi, kerusakan dan kesengsaraan Iran dapat diketahui. Satu kecenderungan reformis yang mendapat kemajuan, dan yang terutama di cerca Khomeini, mengatakan bahwa ritual Syiah dan beberapa sekte Sufi, sedikit hubungannya dengan agama yang di bawa Muhammad. Pandangan ini yang diserukan oleh Kasrawi dan sejumlah mantan mullah, tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh sekte Wahhabi Puritanis di Saudi Arabia.

Khomeini menulis bagian-bagian pamfletnya dengan cara jau lebih sederhana dan arif. Dengan sistematis, Khomeini membantah dan menyeleksi keragu-raguan akan keesaan Allah, Imamah, Ulama, pemerintah, hukum, dan hadis. Dengan memperlihatkan pengetahuan filsafat, logika dan polemiknya, dia menentang lawan-lawannya. Dia menerangkan latar belakang pokok persoalannya, dan mengemukakan kasusnya. Teknik yang juga dikemukakannya adalh membangkitkan rasa patriotisme dan sentimen keagamaan pembacanya. Berbeda dengan mullha segenerasinya, dia bahkan selalu menggunakan istilah filosofis yang pada waktu itu jadi mode dikalangan unsur anti ulama, yaitu kherad, atau kekuatan nalar. Orang yang tak rasional ini (Hakamizadeh) menganggap orang yang religius menginjak-injak kaidah nalar, dan tak menghargainya. Ini menunjukkan kebodohan Hakamizadeh dan kurangnya informasi. Bukankah orang religiuslah yang menulis filsafat dan prinsip fikih ? Bukankah mereka memandang beribu-ribu soal filsafat dan teologi melalui kaca mata nalar dan akal ? Bukankah tokoh-tokoh teologi ini yang memandang nalar sebagai salah satu masalh yang penting ?

Diperlihatkannya sensitifitas politik seperti itu diselang-selingi dengan kecaman. Ketika menyerang balik lawan ulama, Khomeini tidak merasa perlu menahan diri, menuduh mereka bodoh, pengkhianat, jahil dan menyimpang dari agama. Namun ktik memulai pernyataan final polemiknya, dengan nada ofensif dia menulis bahwa mereka yang memandang diri sebagai pelindung agama mestilah ‘meremukkan gigi orang tak berakal ini dengan kepalan tinju bsi dan menginjak-injak kepalanya’ (yakni menutup mulut dan merendahkan mereka). Ada hal lain dalam ksyf Al-Asrar. Disini kita melihat pernyataan pertama gagasan konstitusi negara Islam. Khomeini menghimbau pembacanya, khususnya ulama, agar membaca bab mengenai pemerintah.

Kata Khomeini, ‘pemerintah baru sah bila menerima aturan Allah. Aturan Allah artinya adalah menerapkan syariat. Segenap hukum yang bertentangan dengan syariat harus digugurkan, karena hanya hukum Allah sajalah yang sah dan tak berubah, meskipun zaman berubah’. Orang asing dan peradaban Barat, dalam hal ini, ‘mencuri nalar dan kecerdasan dari kaum Muslim’.

Katanya, bentuk pemerintahan itu sendiri tak jai soal, selama hukum Islam diterapkan. Namun jika pemerintahnya berbentuk monarki, maka rajanya harus diangkat oleh Mujtahid, yang memilih raja yang adil yang tak melanggar hukum Allah, yang tak menindas, yang tak melanggar hak milik, jiwa dan kehormatan orang. Dia mengharap pemerintah Islam mengikuti aturan agama dan melarang penerbitan yang bertentangan dengan aturan hukum dan agama, --dan dihadapan pendukung religiusnya-- menggantung mereka yang menulis omong kosong seperti itu. Pembuat fitnah, yang membuat kerusakan di muka bumi (musid fi al-ardh), katanya haruslah dimusnahkan, agar orang lain tak melanggar kesucian agama.

Pahlawan yang dikagumi Khomeini menggunakan persuasi Islam yang berbeda. Pada satu ujung, Modares, seorang anggota parlemen yang tak tercela, dan pada ujung yang lain, Syaik Fadhlullah Nuri, pembela syariat yang anti konstitusionalis dan konservatif. Khomeini sering menyebut eksekusi Syek Fadhullah, bersama dengan tumbangnya imperium Utsmania dan intervensi Inggris dalam urusan Irak, sebagai tiga malapetaka yang menimpa Islam. Kekaguman Khomeini kepada para pemikir Islam dan perintis perubahan diperkuat oleh militansi mereka dalam membela syariat. Meski memuji pemikiran konstitusional terkemuka seperti Ayatullah Na’ini (1860-1936) yang menghadapi Inggris di Irak, Khomeini tidak banyak memuji upaya Na’ini merujukkan demokrasi dengan Islam. Na’ini menulis buku teori politik Syi’ah, yang menanggapi pandangan ulama anti konstitusionalis.

Pada akhir tahun 1940-an, Khomeini mulai meninggalkan uzlahnya. Khomeini percaya bahwa politik –seperti juga filsafat, tasawuf dan fikih merupakan bagian dari Islam. Untuk memajukan pandangannya, dia mengamati dari dekat dua tokoh zaman itu, Ayatullah Kasyani , yang penting perannya dalam politik dan Ayatullah Burujerdi, seorang marja Taqlid paling penting sejak tahun 1947. dalam banyak soal, seperti anti kolonialisme, universalime Islam, aktivisme politik dan populisme. Pandangan Khomeini sama dengan Kasyani. Tapi mereka juga berbeda dalam banyak hal. Kayani adalah politisi berbudi bahasa, yang cenderung luwes, sedangkan Khomeini lebih keras dan kurang akomodatif. Sementara Kasyani melepaskan jabatannya sebagai guru di pusat Teologi, Khomeini menyerukan bersatunya kepemimpinan ulama. Memang, Kasyani barangkali lebih dikenal dikalangan ulama muda dan kelas menengah seperti Khomeini, namun yang memimpin pusat-pusat teologi adalah ulama terkemuka di Qum dan Najaf, dan bukan Kasyani. Setelah Ayatullah Burujerdi, yang selanjutnya dipuji Khomeini adalah Kasyani. Khomeini berharap Burujerdi dapat mengatasi perpecahan dan kelembaman ulama.

Sebagai guru teologi di Qum, Khomeini sesungguhnya memanikan peran aktif dalam mencari orang kuat dan dapat diterima semua kalangan untuk menyatukan dan melindungi ulama. orang kuat dan dapat diterima seperti itu ditemukan Khomeini pada diri Burujerdi. Seorang Mullah terkemuka yang terkenal luas pengetahuan teologi dan fiqihnya. Burujerdi juga dipandang sangat saleh, sangat meyakini dialog Sunni-Syiah dan administrator yang piawai. Kepribadian dan Kharisma Burujerdi, maupun visi reformisnya, mengalahkan pengaruh Syi’ah lainnya. Menjadikan dirinya pemimpin mereka yang hampir universal. Ini menimbulkan berbagai persoalan antara dirinya dan mullah politik sehingga dia bersikap hati-hati ketika menjalankan status non politiknya sebagai marja’-I taqlid. Tidak campur tangannya Burujerdi dalam politik, pada saat Iran sedang mengalami kebangkitan nasional besar selama DR. Mosaddeq, menjauhkan kaum nasionalis dan sekutu Muslim yang mengharapkan dukungan dari ulama. Namun, Kasyani mengabaikan nasehat Burujerdi, dan menerima jabatan sebagai juru bicara Majelis.

Mosaik politik yang kaya di Iran pasca perang dunia II, lebih didominasi oleh DR. Mosaddeq, ketimbang oleh politisi lain. Pada pertengahan 1940-an inilah Mosaddeq menjadi pemimpin Front Nasional, sebuah koalisi wakil nasionalis liberal di Majelis. Dalam pandangan Khomeini, niat Mosaddeq baik. Dia ingin melayani bangsa, namun kekeliruan utamanya adalah Mosaddeq tak menyingkirkan Syah, ketika Mosaddeq sedang kuat, sementara Syah sedang lemah. Burujerdi tak pernah mendukung Mosaddeq.

Pada tahun 1953, selama kontroversi berdarah sehubungan dengan Sayyid Ali Akbar Borqa’I, seorang ulama pro-Tudeh (partai Kiri) yang diduga keras menghina Burujerdi, Islam dan Al Qur’an pada kongres Partisan perdamaian di Wina, Khomeini yang menjadi pembantu dekat Burujerdi. Ketika reporter jurnal mingguan Taraqqi mewawancarainya, Burujerdi meminta agar mereka mewawancarai Khomeini sebagai wakil resminya. Dalam wawancara itu Khomeini mengutip Burujerdi mengatakan bahwa Borqa’I harus pergi dari Qum, dan tidak boleh ikut pemilihan. Ketika wartawan meminta kesediaannya untuk difoto, Khomeini menolak dan inilah yang merupakan wawancara pertamanya.

Selama tahun-tahun ini, seorang sejarawan agama menulis : [Khomeini] adalah salah seorang guru besar, dan figur terkemuka di pusat-pusat teologi Qum. Dengan gaya bahasa berbunga yang lazim pada masa itu, dia menggambarkan Khomeini sebagai filosof piawai, mufti ahli, yang berkat dirinya tercerahkanlah mata pusat teologi. Dia menambahkan bahwa Khomeini bahwa ‘…merupakan pusat perhatian banyak pelajar dan orang dari Qum, Teheran, dan kota-kota lain. Kuliah etika Khomeini diikuti beratus-ratus orang bijak dari pusat itu sendiri, dan dari tempat lain. Mengenai kuliah teologi Khomeni, sejarahwan ini menulis, kuliahnya lebih baik dibanding lainnya, dan seraya meramalkan masa depan Khomeini, dia menambahkan bahwa banyak yang diharapkan dari Khomeini.

Pada akhir tahun 1950-an, Khomeini merupakan salah stu bintang di pusat teologi. Sebagai buah bertahun-tahun mengajar akhlak, teologi, teosofi transendental dan filsafat, dua ratus lebih muridnya tersebrluas kpenjuru Iran dan dikalangan umat Syi’ah di luar negeri. Mereka jadi ulama lokal terkemuka, jadi imam shalat, mengajar teologi dan berkotbah. Perlahan-lahan Khomeini mendapat kepercayaan sebagai ulama terkemuka. Sebelum bergerak kearena politik agar dapat memperkuat kedudukannya dikalangan kemapanan agama dan memperluas basis kekuasaannnya secara umum. Khomeini memandang dua patron utamanya yakni Kasyani dan Burujerdi, sebagai dua segi Muhammad : Kasyani pemimpin politik dan Burujerdi pemimpin agama. Bagi Khomeini keduanya tidak ada yang ideal, sekalipun keduanya pernah menyebut Khomeini sebagai pemimpin agama di Iran dikemudian hari. Naluri politik Khomeini mendorongnya untuk mengungkapkan pandangannya yang seringkali tidak lazim dan radikal, menghimbau orang untuk bersikap sama, sekaligus berpegang pada konsensus kemapanan Qum di bawah perlindungan Burujerdi.

Secara teologi, posisi Khomeini bukan untuk menjadi Burujerdi yang lain. Sebab, Khomeini masih muda dan masih banyak Ayatullah senior yang masih hidup. Banyak ulama yang menghadapi keadaan yang sulit seperti Ha’eri dan Na’ini. Keduanya telah mencapai tingkat ilmu tertinggi, tapi tak ada peluang untuk mencapai posisi puncak, untuk menjadi marja’-I Taqlid senior, karena masih ada senior mereka. Disatu pihak Khomeini tak ingin menjadi Kasyani yang lain. Menurut Khomeini, Kasyani disalah pahami oleh ulama Qum dan Teheran. Nasionalis religius seperti Mehdi Bazargan, Ayatullah Reza, Abulfadhl Zanjani, dan Taleqani menjauhkan diri dari Kasyani. Mereka menuduh Kasyani sebagai penyebab jatuhnya Mosaddeq. Dan menjadikan Feda’ian-e Islam dan Kasyani sebagai contoh kekuatan yang tak mendapatdukungan mayorita ulama, dan pada akhirnya diisolasikan dan dikalahkan, Khomeini tak mau putus hubungan dengan kalangan teologis.sesungguhnya, kritiknya terhadap Kasyani adalah bahwa Kasyani bukannya mencoba mengislamisasi politik, malah mempolitisasi islam.. Khomeini ingin menjamin hal ini tidak terjadi pendapatan asli daerah adirinya sendiri.

Setelah kudeta terhadap Mosaddeq, Syah berangsur-angsur mulai percaya diri. Dan ini mmpenagruhi hubungannya dengan Burujerdi. Syah tak ingin lagi berkunjung ke rumah Burujerdi, dan pertemuan terakhir mereka tak lagi penting. Laki-laki sakit ini dibantu di bawa dari tempat tidurnya kekereta kuda menuju Tempat Suci dimana dia dipaksa duduk dikursi hampir sejam menunggu Syah. Dua pegawai membantunya berdiri ketika Syah datang mengahampiri. Syah tidak berjabat tanngan dengan laki-laki tua ini, padahal dulu tangan laki-laki ini selalu di ciumnya. Syah tak memberi hormat kepadanya. Syah Cuma mengucapkan salam yang lazim, ‘Ahval-e Aqa Chetor Ast’ (bagaimana kesehatan anda ?). Syah tak menunggu jawabannya atau bertukar kata. Syah kemudian berlalu begitu saja. Pertemuan ini dipandang sengaja menghina Burujerdi dan ulama. Khomeini dan murid-muridnya melihat semakin angkuhnya Syah sebagai pertanda melemahnya Burujerdi. Menurut mereka, Burujerdi sudah dikelilingi agen-agen Syah.

Burujerdi meninggal pada Maret 1961. dan dimulailah proses suksesi. Pada hari ketujuh belas sepeninggal Burujerdi, Ayatullah Behbani yang pro Syah pergi ke Qum mengunjungi mullah-mullah terkemuka Qum, untuk membentuk kelompok yang akan mengurusi sekolah tinggi teologi, dan mungkin juga mencari pengganti Burujerdi. Pada saat itu, Khomeini baru berusia lima puluh sembilan tahun. Karena merasa tak bahagia dengan peranan Behbani di istana, dan marah ketika melihat Behbani tidak turun tangan ketika Nawwab Safawi (seorang ulama muda, tokoh pergerakan Islam di Iran) dieksekusi, Khomeini ikut pertemuan itu namun tidak berdiskusi. Di Qum Masyhad dan Najaf ada ulama yang lebih senior. Khomeini memperlihatkan kesan bahwa ia ingin dikenal sebagai guru dan bukan sebagai marja’-I taqlid (sumber panutan). Murid Khomeini memintanya tampil. Konon Khomeini menolak dengan menunjukkan bahwa masih ada yang lebih senior daripada dia. Alasan lain Khomeini enggan menampilkan namanya adalah karena sebagian gurunya masih hidup dan dipandang lebih pas. Hal ini merupakan satu faktor dipusat teologi. Justru karena tidak punya ambisi, Khomeini jadi lebih populer dikalangan orang yang mengenalnya. Khomeini sudah menempatkan banyak muridnya di posisi-posisi penting diseluruh Iran dan di negara lain. Ketika sudah tiba saatnya bangkit menghadapi rezim Syah, dukungan berdatangan dari mana-mana. Pengaruh murid-muridnya sedemikian rupa, sehingga mereka bahkan dapat memperoleh dukungan lebih lanjut dari ulama apolitik yang enggan.

Meninggalnya Burujerdi, dalam banyak hal, merupakan titik penentu dalam hubungan ulama-negara. Bagi pemerintah, meninggalnya Burujerdi merupakan anugerah terselubung. Dengan tidak adanya tokoh kuat seperti ini, pemerintah mrasa lebih mudah melakukan perubahan sosial dan dengan demikian menguragni tekanan dari dalam maupun dari luar, Burujerdi yang sebelumnya mendukung Syah, beberapa kali menggugurkan upaya pembaruan pemerintah, seperti land reform.

Sepeninggal Burujerdi, Syah tampaknya melakukan campur tangan tidak langsung dalam urusan ulama, seperti mengirim telegram belasungkawa kepada ayatullah Agung Hakim di Najaf. Sayyid Hakim, sang ayatullah sama sekali bukan hal yang tepat untuk menggantikan Burujerdi. Posisinya tak pernah seperti Burujerdi. Mungkin dia adalah ulama yang sangat populer di kalangan Syi’ah Lebanon, Irak dan Teluk. Tapi dia tak bgitu tahu politik Iran. Yang mungkin lebih jelas, kandidat lainnya antara lain Ayatullah Sayyid Abdul Hadi Syirazi, Khu’I dan Syahrudi di Irak,dan sedikitnya enam ayatullah di Iran. Meninggalnya Burujerdi juga berarti bahwa Syah tidak perlu berkonsultasi dengan ulama untuk rencana-rencana yang mungkin ada implikasi agamanya. Ini juga memberikan peluang kepada ulama seperti Khomeini untuk bertindak menurut ijtihadnya sendiri, karena sudah tidak lagi memerlukan persetujuan Burujerdi.

Tidak adanya Burujerdi dan Kasyani juga memberikan dorongan ekstra bagi Khomeini untuk melakukan hal-hal yang gagal dilakukan oleh keduanya :memadukan agama dan politik, Khomeini banyak melakukan kampanye secar diam-diam. Dan sepeninggal Burujerdi Khomeini melakukan kampanye umum untuk membersihkan noda yang melekat pada Akhund-e siasi (mullah politik). Politik dan agama itu satu. Ini yang sering diutarakannya. Khomeini kenal politisi di Teheran. Dia bertemu dengan beberapa menteri dan perdana menteri, ketika berperan sebagai penasehat Burujerdi. Yang pernah ditemuinya antara lain DR. Eqbal dan DR. ‘Ali Amini, masing-masing mantan perdana menteri dan perdana menteri pada waktu itu.

Di pagi hari 2 Januari 1962, bertepatan dengan hari kelahiran Imam Ali Amini –yang berupaya memprakarsai perbaikan tertentu, dan juga berupaya menegakkan otoritasnya sebagai perdana menteri ditengah-tengah kian otokrasinya Syah—pergi ke Qum untuk menemui Khomeini, Golpaygani, Syariat Madari dan Mar’asyiNajafi. Sekitar tengah hari bersama pembantunya, Amini bertemu Khomeini. Pada waktu itu Khomeini adalah satu diantara empat teolog terkemuka Qum. Setelah salam para tamu disuguhi teh dan biskuit persia. Khomeini dan Amini berbicara masalah soal peranan ulama dan pemerntah dalam masyarakat, maupun soal harapan ulama terhadap pemerintah dan sebaliknya. Perbincangan Khomeini dengan Amini menunjukkan keinginan Khomeini untuk mendapatkan konsesi dari pemerintah, ketika pemerintah mencari dukungan ulama bagi pembaruannya. Pada Januari 1962, sekitar sepuluh bulan setelah meninggalnya Burujerdi, pemerintah sudah waktunya mewujudkan rencana land reform-nya. Ulama konservatif dan pemilik tanah kecewa, namun Khomeini dan ayatullah yang baru mapan menyetujuinya. Pada pertemuan itu, Khomeini menyebut soal land reform. Seperti dikatakan Amini, ‘Dia tak suka dengan prosedur pemisahan. Aku meyakinkan dia bahwa kita perlu perlu kerjasama untuk meralat isu itu’. Namun Amini digantikan oleh Asadullah Alam, seorang tuan tanah terkenal yang kawan dekatnya Syah.

Setelah sekitar dua puluh tahun hubungan ulama – Syah relatif harmonis, benturan pertama dimenangkan ulama, terutama berkat bantuan Khomeini. Tantangannya dawali oleh sebuah laporan di koran Teheran pada 7 Oktober 1962, mengenai sebuah peraturan baru. Peraturan baru ini meghapus syarat legal Islam, mengganti Al Qur’an dengan kitab suci. Berita ini menghebohkan di Qum. Khomeini menggunakan kesempatan ini untuk menarik perhatian kaum Muslim kepada “ancaman Pemerintah” terhadap Islam. Agar tidak melanggar protokol, Khomeini memutuskan untuk mengundang ulama lainnya untuk datang kerumah guru mereka. Kemudian malam itu, Khomeini bersama dua ulama terkenal lainnya di Qum, Ayatullah Syari’at Madari dan Golpaygani, bertemu di rumah Ha’eri. Pada pertemuan luar biasa ini, ketiga orang ini mendiskusikan hal tersebut, konsekuensinya dan tindakan apa yang perlu dilakukan. Pada pertemuan sangat penting inilah mulai terlihat sebagian kualitas kepemimpinan Khomeini.

Setelah pertukaran sejumlah telegram antara ulama dan negara, merebaklah protes menentang rancangan undang-undang itu di Qum dan Teheran. Dua bulan setelah rancangan UU ini disahkan, kabinet terpaksa harus menyingkirkan keangkuhannya dan membatalkan rancangan UU itu. Dengan dmikian bukan saja tekad Syah untuk melaksanakan pembaruannya mendapat kemunduran besar meskipun temporer, namun juga menghadapi miltansi politik religius, dengan pemimpin yang maksimalis. Mundurnya pemerintah, menyusul hukum pemilihan lokal, mendorong kaum Bazari tradisional untuk membantu ulama sekutu mereka mengembalikan basis kekuasaan historis yang sudah dihilangkan rezim Pahlevi setahap demi setahap. Setelah dicabutnya rancangan undang-undang pemilihan lokal, sekelompok Bazari pergi menemui Khomeini di Qum. Diskusi mreka menyebabkan disepakatinya satu sistem yang lebih terorganisasi untuk menginformasikan kepada pendukung mereka dan untuk mengecam praktek rezim yang tak Islami. Sejak saat itu, penggandaan dan petunjuk-petunjuk Khomeini lebih terorganisasikan. Bertindak sebagai mata rantai dan pembimbing berbagai kelompok Bazari, dia membantu mereka membentuk aliansi dengan nama Hay’athay-e Mo’talefeh-e Eslami (Koalisi Islam Kelompok-kelompok berkabung).

Pada Januari 1963, Syah mengambil apa yang barangkali merupakan keputusan sangat berani bagi kerajaannya, yaitu menerima tanggung jawab langsung untuk melakukan pembaruan sosial. Meniru jejak ayahnya, Syah bermaksud mengadakan perubahan , dan membuktikan siapa sebenarnya yang berkuasa. Syah mengatakan bahwa dia saja yang dapat mengatasi berbagai persoalan sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi negara, tanpa perlu bersekutu politik dengan kelompok kiri maupun kanan. RUU pembaruan enam pointnya yang direferendumkan, melipiuti land reform dan pembaruan hukum pemilihan yang mengikut sertakan wanita. Proram ini merupakan upaya berani untuk mengubah wajah masyarakat Iran dan juga merupakan tantangan bagi ulama. Karena yakin bahwa sejumlah ulama terkwemuka tak akan mendukung kelompok militan pimpinan Khomaeni, Syah mengira otoritasnya tak akan menghadapi tantangan besar. Barangkali Syah tidak dapat meramalkan bakal terjadinya peristiwa dramatis

Pada 23 Januari 1963, Qum menyaksikan ledakan kekecewaan dan amarah ulama. Benturan kerusuhan berdarah yang terjadi merupakan tantangan bagi Syah, dan akhirnya menyebabkan ditahan dan dibawanya Khomeini ke Teheran. Ketika dikembalikan ke Qum pada 7 Maret 1964, Khomeini tak lagi dipandang sebagai salah seorang ayatullah terkemuka semata, namun juga sebagai ayatullah yang pemimpin politik. Peluang lain bagi Khomeini untuk mengkonsolidasikan posisi politiknya ada pada musim gugur 1964, ketika parlemen mengesahkan RUU yang memberikan hak-hak ekstra-teritorial kepada personil militer Amerika Serikat. Serangan Khomeini terhadap pemerintah, dan disebut-sebutnya oleh Khomaeni ini-pada pidato 27 Oktober 1964-fakta bahwa kedaulatan Iran telah diinjak-injak, bukannya tanpa konsekuensi. Sekali lagi, Khomeini ditahan dan dibawa ke Teheran. Namun kali ini Syah memutuskan membuang Khomeini.

Kepergian Khomeini, pertama ke Turki dan kemudian ke Irak, bagi Syah berarti hilangnya rintangan utama pembaruannya, dan juga hilangnya sumber penting penentangan terhadap pemerintahannya. Namun, pengaruh Khomeini tidak sepenuhnya pudar. Pengaruhnya kini bersifat di bawah tanah. Pernyataan politik umum pertama Khomeini di Najaf, membuktikan bahwa SAVAK beralasan kalau mengkhawatirkan tekad Khomeini. SAVAK mencoba, meski gagal, membendung sumber pendapatan Khomeini di Iran, dan kehilangan kontak langsung dengan pendukungnya di Iran, dan kehilangan harapan untuk memobilisasi mullah di Najaf, Khomeini mulai membina hubungan dengan pelajar Iran di luar negeri, seperti Abul Hasan Bani Shadr, Ibrahim Yazdi, dan Sadeq Qotbazadeh, yang kemudian menjadi tokoh terkemuka pada Revolusi Islam 1979.

Sementara itu Khomeini menulis Tahrir Al- Wasilah, sebuah ulasan mengenai teks tradisional, yang juga meliputi soal-soal sosio-politik yang diabaikan oleh orang-orang semasanya- seperti jihad, amar ma’ruf nahi munhar (menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran). Buku ini menjadikan Khomeini kembali memiliki status faqih. Di sini, Khomeini kembali ke soal pemerintahan Islam, dan menyempurnakan apa yang tertinggal dalam Kasyf Al-Asrar. Khomeini kini mulai menyatakan bahwa Imam (pemimpin umat Muslim) berhak menentukan harga atau mengenakan batasan perdagangan, jika dirasa perlu untuk kepentingan masyarakat Islam. Dia juga menjawab banyak isu politik, dari segi kebijakan asing, dengan tujuan mencegah agar umat Islam tak terpengaruh pihak asing.

Ketika di Najaf, Khomaeni berada di tengah-tengah mullah yang tak dipercayainya. Khomeini juga tak dipercaya oleh mereka. Setelah lima tahun di Najaf barulah Khomeini merasa cukup yakin untuk mengatakan kepada kalangan ulama bahwa mereka belum cukup berbuat. Sesungguhnya Khomeini tidak menantang ulama Najaf ketika Ayatullah Sayyid Muhsin Hakim aktif dan sehat. Pada 1970, kesehatan Hakim menurun, dan dia mendapat tekanan dari pemerintah Irak. Khomeini, yang tak melihat adanya hambatan dari ayatullah terkemukan lainnya, kembali ke topik pemerintahan Islam. Dia, memberi banyak kuliah, dari 21 Januari sampai 8 Februari 1970. Dia mengemukakan bahwa dunia Islam sedang dilanda keputusasaan dan impotensi. Khomeini menyebutkan bagaimana kaum Muslim dizalimi kaum Yahudi, Kristen, imperialisme dan kolonialisme, dengan bantuan penguasa yang korup dan merendahkan diri. Khomeini mengkritik ulama yang asyik dengan soal-soal skolastis dan sok pamer ilmu, seperti topik menstruasi dan kebersihan jasmani. Khomeini berbicara kepada audiennya yang- katanya- kelak bertanggung jawab menyampaikan hukum dan sistem Islam.

Khomeini mendorong muridnya menyadari bahwa kewajiban merekalah ‘untuk menegakkan pemerintahan Islam,’ dan untuk yakin akan kemampuan sendiri dalam menuaikan tugas ini. Dia mendesak ulama untuk berupaya menegakkan negara Islam, dengan cara mengemban tanggung jawab posisi eksekutif, legistlatif, dan yudikatif. Dia juga memaparkan program aksi untuk mencapai ini dengan diawali pembaruan di pusat-pusat teologi.

Sikap teoretis utama Khomeinidalam memberikan legitimasi kepada negara Islam seperti itu doktrin Vilayat-e Faqih, yang terjemahannya bervariasi, seperti Kekhalifahan Teolog, Pemerintahan Faqih, atau Faqih.

Meski terkadang ada aktivitas dari oposisi, posisi Syah kuat sejak pertengahan 1960-an sampai pertengahan 1970-an, ketika dia memperkenalkan Iran sebagai ‘negara yang stabil’ dan makmur. Fakta bahwa Khomeini hanya mengeluarkan kurang lebih dua belas pernyataan yang ditujukan kepada masyarakat Iran di dalam negeri selama periode ini, menunjukkan bahwa dia bukan sedang menginjak tanah yang subur.

Keretakan pada dinding kukuh pada ‘stabilitas’ dan kontinuitas muncul pada tahun 1977, ketika Syah mencopot perdana menterinya yang loyal, Amir ‘Abbas Hoveyda, yang telah mengabdi selama dua belas tahun, dan digantikan oleh seorang yang lebih bersemangat, Jamsyid Amouzegar. Pada masa ini, tak ada yang tahu kalau Syah sedang mengidap kanker dan menjalani perawatan sebulan sebelumnya. Pada Oktober, ulama terkejut ketika mendengar bahwa putra sulung Khomeini, Mustafa meninggal secara misterius (diduga dibunuh oleh agen Syah-peny). Peristiwa ini membuat Khomeini banyak diliput media. Orangpun berdatangan ke rumah keluarga Khomeini di Qum, untuk menyampaikan bela sungkawa kepada saudara Mustafa yang bernama Murtaza Pasandideh serta keluarga lainnya. Ia juga banyak menerima telegram dan surat bela sungkawa. Kejadian ini menjadikan Khomeini lebih popular. Ia pun makin tampil sebagai simbol perlawanan terhadap Syah.

Munculya artikel yang menghina Khomeini pada pada6 Januari 1978 di harian Etela’at, memicu berbagai demonstrasi dan bentrokan dengan tentara di Qum. Demonstrasi ini menelan enam orang korban. Pada hari keempat puluh (arba’in) korban menyulut pergolakan di kota-kota lain. Ketika api sudah menyebar, Syah menjadi sasaran penghinaan. Merenungi perasaan nasional, dalam wawancara dengan Le Monde, Khomeini menyatakan bahwa dinasti Pahlevi harus ditumbangkan. Khomeini menambahkan bahwa tujuan idealnya adalah menegakkan negara Islam. Setelah melihat kedudukan sebagai pemimpin gerakan anti-Syah tidak perlu dipersoalkan lagi, Khomeini menjaga jarak dengan golongan kiri. Khomeini menyerukan langsung kepada agar bergabung dengan gerakan rakyat. Di Paris, Khomeini berbicara soal ‘Islam progresif,’ dimana wanita dapat jadi presiden, dan ‘aturan Islam,’ seperti retribusi (balas jasa atau ganti rugi) tak akan diberlakukan, kecuali kalau sudah cukup persiapan untuk menerapkan keadilan Islam total.

Pada periode ini, Khomeini tidak mendiskusikan teori Wilayat Faqihnya. Apalagi pandangan ulama sebagai pengawas. Bagi kubu Khomeini, hanya ada dua sasaran lagi yang perlu dicapai: perginya Syah, dan kembalinya Khomeini. Tujuan pertama semakin dekat, ketika pada 10 dan 11 Desember 1978, dua hari agama yang penting, yaitu Tasu’a dan Asyura, 9 dan 10 Muharram, berjuta-juta orang berbaris di Teheran menuntut perginya Syah dan kembalinya Khomeini. Khomeini mengambil prakrsa, menerbitkan rencana aksi tiga poinnya yang sudah diedarkan dikalangan kandidat dewan revolusi dan pemerintah provisional (sementara). Ketika mengungkapkan rencananya kepada rakyat Iran, Khomeini mengatakan bahwa ‘…berdasarkan hak-hak agama dan kepercayaan kepada saya dari mayoritas mutlak rakyat, sebuah dewan yang bernama Dewan Revolusi Islam telah dibentuk. Anggota dewan ini akan disebutkan sesegera mungkin.’ Penunjukan Dewan Revolusi merupakan langkah pertama menuju berdirinya institusi yang diperlukan untuk pemerintahan di Iran.

Pada 16 Januari 1978, Syah yang sedih dan sakit-sakitan berkemas-kemas meninggalkan negerinya, dan tak pernah kembali. Dua minggu kemudian, pada 1 Febuari, Khomeini tiba di Iran, disambut hangat berjuta-juta rakyat Iran sebagai pemimpin revolusi.

Sang Pemimpin

Orang yang berbicara soal penciptaan pemerintahan yang sempurna, masyarakat sempurna, dan manusia sempurna, kini memegang otoritas. Politisi, Faqih, dan sufi itu, kini berkuasa. Setelah berada di Teheran, Khomeini sadar betul bahwa dia harus segera mengambil alih aparat negara. Diperlukan suatu organisasi. Dia juga harus memantapkan posisinya sendiri, tanpa menjauhkan mereka yang membantu revolusi. Berdasarkan legitimasi dari konsep Wilayat-I Faqih tak diperhatikan orang.

Kini Khomeini berencana mendirikan pemerintahan Islam seperti teorinya. Yang segera jadi perhatiannya adalah konsolidasi kekuatan. Dia percaya bahwa tanpa kekuatan, kemungkaran tak mungkin dapat disingkirkan, kebenaran tak mungkin dapat ditegakkan dan Islampun tak mungkin dapat diterapkan. Langkah pertamanya adalah membersihkan revolusi dari kekuatan ‘mungkar’ dan mereka yang mengabdi pada rezim lama. Dalam masa yang singkat, Amir ‘Abbas Hoveyda, mantan perdanan menteri , dan lebih dua ratus Jenderal dan pejabat teras Syah dihukum mati.kemudian diikuti eksekusi atas personel militer, pejabat, dan para pelaku berbagai kejahatan.

Sistem nilai baru yang diperkenalkan Khomeini tidak dapat dikenali sebagai secara tradisional Islami. Khomeini dan pengikutnya menggunakan kosakata yang pada esensinya kosakata ‘Islam Revolusioner’. Tuhan yang disebut-sebut oleh kebanyakan kaum revolusioner, sudah tak lagi hanya ‘pengasih dan penyayang’, seperti yang termaktub dalam setiap surat dalam Al Qur’an, tetapi juga sebagai pengahncur tiran’.

Perbedaan antara Khomeini yang revolusioner dan Bazargan yang gradualis, bukan saja alam soal HAM, seperti yang terjadi dimasa rezim baru. Tapi juga dalam sikap, pandangan dunia, dan pandangan masa depan Iran.
Selengkapnya...