Selasa, 07 Juli 2009

Liberalisasi dan Globalisasi Melemahkan Daya Juang Ekonomi Rakyat

EDITORIAL (Edisi November 2003)
JURNAL EKONOMI RAKYAT
oleh : Prof. Dr. Mubyarto, SE

Seorang peserta Seminar “Peringatan 75 tahun Sumpah Pemuda” di Wina, Austria, 25 Oktober 2003, secara polos menyatakan bahwa penghisapan (eksploitasi) para investor atau pemodal, luar negeri atau dalam negeri, terhadap kekayaan alam Indonesia (SDA) dan bahkan terhadap manusia Indonesia (SDM), tidak perlu dipermasalahkan, daripada manusia Indonesia banyak yang menganggur. Dengan perkataan lain pengangguran dianggap musuh utama ekonomi Indonesia lebih-lebih sejak krismon 1997 yang sekarang dikatakan sudah mencapai “40 juta orang”. Investor adalah “dewa penolong” yang dapat menciptakan kesempatan kerja bagi banyak penganggur Indonesia.

Adakah yang salah dalam pola pikir warga negara Indonesia yang kini bekerja di perusahaan Jerman tersebut? Ya, dan kesalahan cara berpikir ini sangat dipengaruhi oleh iklim ekonomi global yang liberal, dan pengangguran yang luas di Indonesia juga dilihat sebagai fenomena Jerman. Dengan kata lain “kacamata” Jerman dipakai untuk melihat fenomena pengangguran Indonesia. Di Jerman menganggur adalah satu malapetaka dan penganggur adalah orang yang pasti miskin, sehingga penganggur sangat mendambakan kesempatan bekerja apapun yang dibuka oleh perusahaan.


Jalan pikiran yang menganggap perusahaan adalah “dewa penyelamat”, bukan sebagai penghisap, adalah benar “dalam suasana ekonomi global yang sudah bersemangat liberal”.

Tetapi dalam sistem (aturan main) ekonomi Pancasila yang bermoral, manusiawi, nasionalistik, kerakyatan/demokrastis, dan bertekad mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, penghisapan oleh pemodal dari manapun termasuk pemodal nasional harus ditolak. Ekonomi Pancasila melawan ekonomi yang menghisap (eksploitatif). Ekonomi Pancasila bersifat partisipatif yang lebih menghargai mansia dibandingkan alat atau teknologi, lebih-lebih modal uang.

Globalisasi adalah aturan main yang dibuat oleh para pemodal dari negara industri maju yang pasti lebih menguntungkan pembuatnya, dan pasti merugikan manusia di negara-negara miskin yang sedang berkembang. Kita tidak menentang globalisasi tetapi globalisasi harus kita atur kembali hingga sesuai dengan tujuan mewujudkan keadilan sosial, bukan malah makin meningkatkan ketidakadilan sosial.

Globalization entails the closer integration of the countries of the world and that means there is going to be more interdependence. Our welfare, our well-being, will depend on others, and it will depend on how globalization is managed (Joseph Stiglitz, We have to make globalization work for all, The Jakarta Post, 22 Oktober 2003: 7).



Yogyakarta, 1 November 2003

Mubyarto/Redaksi

0 komentar:

Posting Komentar