Senin, 06 Juli 2009

Grameen Bank, Bank Kaum Miskin

Oleh Donny Gahral Adian

KEMISKINAN sungguh merupakan persoalan struktural yang kompleks. Pelbagai variabel senantiasa mengepungnya dari pelbagai penjuru. Birokrasi, misalnya, adalah salah satu variabel itu. Ini yang membuat ekonom seperti Prof Mubyarto meragukan penyaluran dana bagi kaum miskin melalui birokrasi. Beliau sebaliknya memuji program Inpres Desa Tertinggal yang memotong jalur birokrasi antara si miskin dan bank pedesaan (Kompas, 9/4/2005).

Saat dana dijemput dan dikelola sendiri oleh si miskin, risiko korupsi oleh birokrat desa mengecil. Persoalannya, siapa yang mengidentifikasi si miskin? Bukankah itu dilakukan aparat birokrasi? Kolusi antara birokrat desa dan bank penyalur dana amat mungkin terjadi.


KEPRIHATINAN yang sama juga dirasakan ekonom asal Banglades, Muhammad Yunus. Menurut dia, kemiskinan diciptakan oleh institusi dan kebijakan yang mengitarinya. Reformasi institusional dan kebijakan karena itu menjadi kemestian dalam upaya pengentasan kemiskinan. Namun, reformasi birokrasi di negara dunia ketiga tidak bisa seketika dan menyimpan banyak kendala. Sebab itu, Yunus memperkenalkan sebuah institusi baru bernama Grameen Bank. Grameen Bank adalah bank alternatif yang bekerja di luar jalur birokrasi dan menyentuh langsung wajah si miskin. Bermula di Banglades, Grameen Bank kini sudah mendapat sekian banyak replika di pelbagai negara.

Filsafat manusia yang menopang Grameen Bank cukup menarik. Kemiskinan menurut filosofi itu bukan disebabkan absennya keterampilan (skill). Keterampilan tidak berbanding lurus dengan kualitas hidup seseorang. Dengan kata lain, keterampilan bukan ukuran posisi sosio-ekonomi seseorang. Filsuf Rawls menyebutnya sebagai hasil lotre alam. Keterampilan pun memerlukan dana untuk menatanya. Sementara orang miskin tidak memiliki cukup dana untuk itu. Kalaupun ada, dana itu berupa sumbangan yang tidak menuntut pertanggungjawaban, bahkan menciptakan ketergantungan. Padahal, menurut filosofi Grameen Bank, keluarnya seseorang dari kemiskinan menuntut inisiatif dan kreativitas.

Demi menunjang filosofi itu, Grameen Bank merancang kredit mikro berbasis kepercayaan bukan kontrak legal. Konkretnya, peminjam diminta membuat kelompok yang terdiri dari lima orang dengan satu pemimpin. Pinjaman diberikan secara berurutan dengan catatan orang kedua baru bisa meminjam setelah pinjaman orang pertama dikembalikan. Selain itu, kelompok peminjam dituntut membuat pelbagai agenda sosial yang bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Metodologi ini bukan sekadar berfokus kepada kemiskinan finansial, tetapi juga sosial. Ia dirancang guna mendorong rasa tanggung jawab dan solidaritas terhadap sesama peminjam dalam satu komunitas. Ini didaratkan pada tesis bahwa kemiskinan bukan semata disebabkan oleh kekurangan modal finansial, tetapi juga sosial.

GRAMEEN Bank sekali lagi bekerja di luar jalur birokrasi. Pinjaman disalurkan melalui lembaga swadaya masyarakat yang kompeten atau organisasi para peminjam sendiri. Baik LSM maupun organisasi peminjam mesti mengadopsi good governance yang berpangku pada prinsip-prinsip pokok Grameen Bank. Misalnya, suku bunga harus dipastikan memadai bagi keberlanjutan program bukan untuk profit jangka pendek para investor. Program kredit mikro Grameen Bank berfokus pada keberlanjutan program bukan profit. Fokus ini lebih dulu disosialisasikan kepada investor saat penjaringan dana.

Program Grameen Bank sudah membuktikan dirinya dalam mengentaskan kemiskinan di Banglades. Bahkan, riset yang dilakukan Shahid Khondkar (2003) menunjukkan sesuatu yang menarik. Ia menemukan mikro kredit tidak hanya memengaruhi kesejahteraan peserta program, tetapi juga agregat kesejahteraan di tingkat desa. Riset juga menunjukkan bagaimana modal sosial yang diciptakan program ini terbukti amat berpengaruh saat bencana. Ini terlihat, misalnya, setelah bencana banjir di Banglades, tahun 1998. Tanpa menunggu bantuan pemerintah, warga segera mengorganisasi diri dan memanfaatkan dana yang ada untuk keperluan rehabilitasi. Kultur yang sama, sayang, tidak tampak pada masyarakat pedesaan di Indonesia.

Di Banglades sendiri program ini telah mendorong 42 persen peminjam ke atas garis kemiskinan. Ini adalah hasil evaluasi berdasarkan pelbagai indikator, seperti besar pinjaman, jumlah tabungan, kondisi perumahan, pakaian dan pendidikan anak. Sasaran program ini pun tak terbatas ruang-waktu. Demi membebaskan generasi berikut dari kemiskinan, Grameen Bank mendorong anak-anak peminjam untuk bersekolah sampai universitas. Pelbagai insentif dipersiapkan mulai dari beasiswa dan penghargaan pada kelompok peminjam. Penghargaan, misalnya, diberikan pada kelompok peminjam yang anak-anaknya semua bersekolah dan minimal lulus sekolah dasar.

Demi keberlanjutan antargenerasi, Grameen Bank memfokuskan pinjaman pada perempuan. Ada dua misi dari aksi afirmatif ini. Pertama, pemberdayaan perempuan dengan meningkatkan posisi tawar mereka, baik di ruang privat maupun publik. Kedua, peningkatan kualitas hidup anak. Riset membuktikan, peningkatan ekonomi perempuan berbanding lurus dengan tingkat pendidikan dan kesehatan anak. Pemberdayaan ekonomi perempuan, misalnya, berhubungan langsung dengan turunnya angka kematian bayi dan malnutrisi. Ini turut memastikan, generasi berikut tetap bertahan di atas angka kemiskinan.

EKSPERIMEN Grameen Bank patut ditimbang sebagai satu alternatif metodologis dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Namun, tidak berarti program ini bebas dari kendala. Kendala paling nyata yang dihadapi program ini adalah formalitas yuridis. Berdasar aturan legal yang ada, LSM atau organisasi peminjam sulit mengubah dirinya menjadi institusi finansial. Sebab itu, parlemen mesti turut membantu dengan mendesain perundang-undangan perbankan yang mendorong konversi LSM dan organisasi peminjam menjadi institusi finansial. Sebab, sebagai institusi formal, mereka terbuka secara legal bagi audit berkala lembaga-lembaga auditor.

Kendala kedua, kultur ketergantungan yang masih menjadi habitus masyarakat kita. Kultur ketergantungan telah menghalangi tertanamnya karakter kemandirian (self-reliance) dalam benak sosial masyarakat. Birokrasi malah senantiasa berupaya mempertahankan kultur ketergantungan itu. Sebab, selain subyek dari penyaluran dana, masyarakat miskin juga sumber nafkah bagi aparat sendiri. Sementara Muhamad Yunus, sang arsitek Grameen Bank, di pelbagai kesempatan selalu menegaskan, kredit mikro adalah hak asasi manusia.

Intervensi sosial, karenanya, mesti dijalankan secara sistematis. Mulai dari seminar, diskusi, sampai lokakarya dengan pelbagai simulasi, semua harus dijalankan secara terprogram. Visi dan misi program mikro kredit ini jelas akan pupus jika institusi finansial sekadar bekerja sebagai penyalur dana. Sebab, sekali lagi, kemiskinan bukan sekadar absennya modal finansial, tetapi juga modal sosial dan budaya. Dengan kata lain, tanpa solidaritas dan kemandirian, masyarakat sulit beringsut keluar dari kemiskinan.

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat UI

sumber :
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0505/19/opini/1760858.htm

0 komentar:

Posting Komentar