Minggu, 05 Juli 2009

Kata Pengantar Buku “Mengapa Saya Bakar Gambar eSBeYe” (Pledoi : I Wayan “Gendo” Suardana)

Oleh : Dr. Jeffrey A.Winters, Ph.D

23 Oktober 2005, Chicago USA

Ini adalah buku yang penting dan buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang berkomitmen terhadap pembangunan kebebasan dan demokrasi di Indonesia. I Wayan Suardana (alias Gendo) ditangkap dan ditahan pada Januari 2005.

“Kejahatan apa yang dia lakukan?” Dia tidak mencuri dari tetangga atau took. Dia tidak melakukan korupsi terhadap uang rakyat. Dia juga tidak melakukan perusakan barang-barang atau menyerang seseorang secara fisik. Dia tidak memperkosa, menyiksa, ataupun membunuh seseorang. Dia tidak melakukan pengeboman terhadap masyarakat yang tidak berdosa, termasuk pekerja di rumah makan atau night club.


Gendo dipenjara atas “kejahatan” berekspresi politik. Khususnya pada saat melakukan unjuk rasa damai di Bali pada bulan Desember 2004, Gendo dan teman-temannya melakukan pembakaran terhadap photo Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Mengapa Gendo dan teman-temannya melakukan hal ini? Dan mengapa pula pemerintah menganggap Gendo sebagai penjahat?

Unjuk rasa itu dilakukan sebagai reaksi terhadap keputusan pemerintah menghilangkan subsidi BBM. Menurut Gendo, keputusan pemerintah tersebut akan menyakiti rakyat kecil tanpa memberikan mereka kompensasi apapun. Sangatlah penting untuk diingat bahwa Gendo tidak berbicara atas dasar kepentingan dirinya sendiri. Dia tidak kaya, tapi memiliki cukup untuk hidup sederhana sebagai seorang mahasiswa dan aktivis. Ia berbicara atas nama puluhan juta Rakyat Indonesia yang terbiasa diam karena mereka miskin, terintimidasi oleh pemerintah dan pejabat, atau tidak tahu kemana harus pergi dan apa yang harus dikatakan ketika keputusan pemerintah diambil yang akan menambah kesengsaraan pada kehidupan mereka yang sudah menyedihkan.

Jadi jelaslah : Gendo dan kawan-kawannya melakukan protes karena kebijakan yang akan membahayakan masyarakat miskin. Isu bukanlah sesuatu yang abstrak atau simbolis, melainkan sebuah isu yang nyata dan kongkret.

Dan tepat saja ia ditangkap dan dihukum untuk sebuah “kejahatan” yang abstrak dan simbolis. Para pengunjuk rasa ingin mengingatkan pejabat tinggi pemerintah, yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka berdialog satu sama lain ketimbang melihat atau merasakan konsekuensi tindakan mereka terhadap masyarakat, bahwa keputusan mereka akan mengakibatkan kepedihan dan penderitaan.

Untuk menekankan poin mereka secara jelas dan dramatis – untuk meraih perhatian media dan pejabat pemerintah yang tidak mau mendengarkan – mereka menggunakan simbolisme dramatis sebagai bagian dari ekspresi politik mereka.

Foto Susilo Bambang Yudhoyono digambarkan sebagai Drakula. Apakah para aktivis benar-benar menginginkan agar masyarakat berpikir bahwa presiden mereka adalah penghisap darah? Tentu saja tidak. Drakula menghisap darah dari korban mereka, menjadikan mereka lemah dan bahkan menyebabkan kematian.

Bagi banyak orang, sangatlah mengejutkan untuk melihat presiden mereka digambarkan sebagai Drakula. Tapi itu adalah tujuannya. Politik adalah perjuangan dalam banyak tingkatan. Salah satu tingkatan yang terpenting adalah simbolisasi. Dan bagi masyarakat yang ingin memahami apa artinya keputusan pemerintah itu apa implikasi yang ditimbulkannya, sangatlah penting untuk melihat simbolisasi dan interpretasi menyeluruh. Pejabat pemerintah menggambarkan bahwa keadaan baik-baik saja. Gendo dan kawan-kawannya menyeimbangi pandangan tersebut dengan mengatakan sebaliknya.

Gendo dapat saja menulis famplet yang panjang menjelaskan semuanya secara detail. Ia dapat melakukan orasi yang panjang. Tapi banyak orang yang ia hendak tuju dalam komunikasinya tidaklah memiliki banyak waktu dan keahlian untuk mendengarkan semuanya detailnya.

Menggambarkan Presiden sebagai Drakula adalah sebuah jalan pintas simbolis. Dengan penggambaran seperti itu, kamu dapat melakukannya dengan cara yang akan mendapatkan perhatian. Ini adalah cara yang secara valid dan sah dalam politik, dan sering digunakan secara luas dalam masyarakat yang bebas di seluruh dunia.

Selama demonstrasi, foto Susilo-Drakula dibakar. Apakah ini berarti Gendo dan aktivis lainnya hendak membakar Presiden Susilo? Apakah ini berarti bahwa mereka hendak mencederai Presiden Susilo? Seklai lagi, tentu saja tidak!

Mereka membakar foto untuk menunjukkan kemarahan dan kefrustasian, dan untuk menekankan pada isu bahwa pemotongan subsidi adalah tindakan yang serius dan membahayakan. Mereka ingin menarik perhatian media dan bahkan Presiden sendiri. Tujuannya adalah untuk menyampaikan pesan, sebuah pesan politis : “Kamu mencelakakan jutaan orang dengan keputusan kamu, dan tindakan simbolis yang ekstrem ini ditujukan untuk membuat kamu berpikir kembali atas apa yang telah kamu lakukan kepada siapa kamu melakukan hal tersebut.”

Para aktivis melakukan hal yang sama dengan Presiden Megawati. Mereka membakar fotonya atau menginjak-injaknya selam demonstrasi. Apakah para demonstran ini hendak mencederai Mega? Apakah mereka akan menyerangnya ketika bertemu dengannya atau membahayakan hidupnya? Tidak. Mereka mengekspresikan pandangan mereka dalam sebuah cara yang dramatis untuk memotong banyak suara dalam politik dan dalam masyarakat, untuk menarik perhatian dari mereka yang tidak ingin mendengarkan, dan untuk mengekspresikan emosi dan penderitaan yang sesungguhnya.

Tindakan seperti pembakaran foto, mencoret-coret foto (khusunya foto resmi pemimpin), menggantung boneka pemimpin, atau bahkan membakarnya memiliki sejarah yang panjangsebagai metode ekspresi politik.

Tidaklah mengherankan jika pejabat pemerintah tidak menyukai metoda penyampaian ekspresi seperti ini. Dari sudut pandang mereka, situasi yang ideal adalah situasi di mana tidak ada kritik atau oposisi sama sekali, atau paling tidak sebuah kritik harus disampaikan sesuai dengan cara mereka atau membuat mereka merasa nyaman. Tapi apakah metoda penyampaian ekspresi yang dramatis dan kasar harus diperlakukan sebagai tindakan Kriminal dan haruskah orang yang menyampaikan pesan politis dipenjarakan hanya karena mereka mengatakannya?

Pemerintahan Kolonial Belanda tidak suka dikritik atas kebijakan mereka juga. Bahkan, hukum yang digunakan terhadap Gendo ditulis oleh Pemerintah Kolonial Belanda tersebut. Pejabat pemerintah di tahun 2005 yang tidak ingin dihubungkan dengan maksud sesungguhnya yang opresif dari Pasal 134 dan 136 dari Undang-undang Kejahatan selama masa penjajahan Belanda, sekarang mencoba memfokuskan pada unsur budaya – ekspresi politis tertentu, seperti pembakaran foto presiden, tidaklah pantas karena “tidak sopan” atau menunjukkan “ketidakhormatan” pada pejabat tinggi pemerintah seperti presiden.

Ini adalah sebuahbentuk argumentasi yang sangat berbahaya. Harap dicatat bahwa bukan tindakan itu sendiri yang menjadi bermasalah. Selama masa kampanye pemilu tahun 2004, saya melihat banyak gambar Presiden Megawati dibuang di jalan sebagai sampah sehabis masa kampanye. Ribuan orang menginjak-injak gambar ini.Kemudian ketika stadion tempat kampanye dibersihkan, banyak gambar Megawati dan SBY dibakar seperti sampah oleh tukang sampah.

Tidak ada dari orang-orang ini yang ditangkap atau dipenjarakan selama 6 bulan seperti Gendo. Karena mereka hanya membakar kertas, dan membakar kertas tidaklah melanggar hukum.

Perbedaannya adalah maksud di balik tindakan-tindakan tersebut. Bagi Gendo dan para demonstran, kritikan yang disampaikan yang meresahkan para pemimpin, bukan pembakaran itu sendiri. Dan ini sangat penting. Alasan Gendo dipenjarakan adalah untuk menyampaikan pesan kepada public bahwa para pemimpin tidak menyukai kritikan tertentu.

Tiba-tiba saja, tindakan sederhana seperti pembakaran kertas menjadi “tindakan penghinaan”, kemudian “tidak sopan” dan lalu “kejahatan”.

Mereka yang berkuasa selalu mencoba untu membatasi kritik-kritik apa yang dapat disampaikan dan bagaimana cara mereka menyampaikannya. Saya mengalaminya sendiri ketika saya menyampaikan ke public pada tahun 1998 bahwa ada indkasi korupsi besar-besaran oleh Ginandjar Kartasasmita haruslah diselidiki secara menyeluruh. Hasilnya adalah bukanlah penyelidikan terhadap korupsi itu, melainkan ancaman terhadap saya menggunakan hukum Belanda yang sama yang digunakan untuk memenjarakan Gendo karena penghinaan terhadap penjabat Negara.

Beberapa orang memberikan alasan bahwa pengekspresian politik dan protes seperti pembakaran foto berbahaya bagi masyarakat karena dapat mengarah pada tindakan kriminal yang sesungguhnya. Tapi argumentasi ini tidaklah didukung oleh fakta sejarah. Banyak kasus ledakan kejahatan yang tidak disebabkan oleh pembakaran foto-foto para pimpinan. Dan banyak contoh kasus dalam penyampaian ekspresi politik yang kasar, tindakan bicara bebas (termasuk pembakaran foto), yang tidak mengarah pada kejahatan fisik sama sekali.

Bahkan orang dapat membuat argumentasi bahwa membiarkan orang melepaskan ketegangan dan frustasi mereka dalam bentuk penyampaian ekspresi politik yang dramatis sesungguhnya dapat mencegah frustasi tersebut dapat terakumulasi menjadi sebuah tindakan kekerasan.

Apakah pembakaran gambar presiden dapat sungguh membahayakan si presiden? Tidak. Apakah meresahkan para pemimpin? Ya. Haruskah itu dihukum sebagai kejahatan hanya karena itu membuat para pemimpin merasa tidak nyaman? Itu adalah permasalahan yang sesungguhnya dalam kasus Gendo, dan dalam belasan kasus yang serupa.

Dalam Nota pembelaannya, yang menjadi dasar bagi buku ini, Gendo menyatakan bahwa “Perkara ini akan menjadi parameter sejauh mana Negara dan bangsa ini mampu berdemokrasi.” Ia benar sekali. Salah satu pilar demokrasi adalah keinginan para pemimpin untuk mampu menahan kritikan yang dilontarkan dengan marah, emosi, dan kasar.

Taruhannya sangat besar ketika pemerintah mengambil sejumlah keputusan. Sebagian orang akan diuntungkan sedang sebagian lain akan dirugikan, sebagian yang lain bahkan akan dihancurkan hidupnya atau dapat tewas karena keputusan pemerintah – misal, ketika pemerintah memutuskan untuk memotong anggaran pelayanan kesehatan , akan banyak wanita yang meninggal ketika melahirkan bayi, akan banyak anak-anak yang meninggal sebelum mencapai ulang tahun pertama, dan akan banyak warga Negara yang meninggal karena penyakit sederhana yang seharusnya dapat dicegah.

Permasalahan ini sudah cukup mengundang emosi dan penting dan dramatis jauh sebelum seseorang seperti Gendo membakar sebuah foto. Selama para demonstran tetap berkomitmen pada tindakan tanpa-kekerasan, kenapa sebuah tindakan dramatis dalam pengiriman pesan politis yang kuat diperlakukan sebagai sebuah “kejahatan” hanya karena tindakan tersebut membuat para pemimpin merasa kurang nyaman?

Mungkin membuat para pemimpin politis tidak nyaman adalah tepat yang dibutuhkan untuk membuat mereka memikirkan kembali keputusan mereka. Mungkin, dengan segala macam bentuk penarik perhatian dalam kehidupan sehari-hari, sebuah bentuk dramatis dalam penyampaian ekspresi politik dibutuhkan untuk menarik perhatian orang dan membuat mereka mengerti bahwa kehidupan sedang dipertaruhkan dan bahwa jutaan rakyat yang tidak dapat bersuara sedang disakiti.

Selama kampanye presiden tahun 2004, Saya bepergian sebagai seorang observer ke seluruh penjuru Indonesia dengan para kandidat politik. Saya memiliki beberapa kesempatan untuk membicarakan permasalahan ini dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada suatu kesempatan saya menanyakan langsung kepadaSBY pandangannya mengenai sebuah penyampaian ekspresi yang dramatis seperti pembakaran foto para kandidat. Saya secara khusus ingin mengetahui apakah Ia akan mengambil tindakan yang sama seperti yang dilakukan oleh Presiden Megawati, yang telah menghukum belasan aktivis dan memenjarakan mereka hanya karena ia merasa tersinggung.

Jawaban SBY sangatlah menarik dan penuh pemikiran. Ini yang saya catat dalam catatan saya berdasarkan jawabannya : ‘Saya sedang duduk bersama istri saya suatu malam dan sedang menonton TV, kami terkejut meilah foto saya dibakar dalam kampanye partai yang lain. Saya harus mengakui, itu membuat saya merasa tidak nyaman. Tapi Ani dan saya membicarakan soal hal itu dan kami menyadari bahwa bukan saya pribadi yang mereka tidak suka karena mereka belum mengenal saya. Itu adalah sebuah ekspresi dari keinginan politis mereka. Seiring dengan tumbuhnya demokrasi baru dari sebuah periode di mana pengekspresian pandangan sangatlah dibatasi, saya percaya bahwa sangatlah penting untuk setoleran mungkin, bahkan terhadap tindakan seperti ini.”

Saya lalu bertanya langsung kepadanya “Lalu apakah anda mendukung penghukuman pada mahasiswa dan aktivis seperti yang telah dilakukan oleh Megawati?” Ia menjawa b “Tidak”.

Begitu Gendo dihukum penjara, juru bicara presiden Andi Mallaranggeng, seperti dikutip Financial Times, mengatakan “Presiden sedang coba mengirim pesan bahwa ia mendukung kebebasan berbicara, tapi sesuai dengan nilai-nilai dan etika kita. Kamu dapat berbicara apa saja yang kamu suka, tapi kamu tidak harus membakar foto atau melakukan sesuatu seperti itu.”

Mereka yang tidak ingin menghadapi oposisi yang kuat selalu berlindung di balik nilai-nilai dan etika. Gendo tidak menyakiti seorangpun. “Kejahatan”nya hanyalah karena ia berbicara menggunakan simbolisasi politis yang dramatis mengenai sebuah permasalahan yang akan memiliki dampak yang dramatis terhadap jutaan jiwa masyarakat.

Politisi yang ingin diperlakukan seperti raja, dibanding sebagai seorang sosok yang mungkin saja dikritik secara keras ketika mereka mengambil keputusan yang keras seharusnya mencari pekerjaan yang kurang memiliki tekanan dan di mana tidak ada orang yang mengatakan sesuatu yang tidak sopan terhadap mereka.

Sebelum membaca buku ini, sangatlah penting untuk diingat bagaimana Belanda memperlakukan Sukarno dan Hatta karena berbicara dengan cara yang membuat Pemerintahan Kolonial Belanda merasa tidak nyaman; atau bagaimana Suharto telah memenjarakan begitu banyak orang karena ekspresi politik mereka.

Gendo dan banyak orang sepertinya sedang berjuang dalam tradisi terbaik dari kebebasan dan keadilan. Argumentasi yang dibuat di buku ini adalah sebuah suara yang penting dan bersemangat dalam dialog dan debat yang sedang terjadi tentang demokrasi dan seberapa jauh para elit mampu mundur dari keistimewaan dan perlindungan yang mereka miliki di Indonesia.

Diterjemahkan oleh :

Johans Kamajaya

0 komentar:

Posting Komentar