Minggu, 05 Juli 2009

Koalisi Anti Utang : Development Policy Loan, Skema Baru Penjajahan Ekonomi

Ketergantungan pemerintah Indonesia terhadap pembiayaan yang bersumber dari utang luar negeri telah melahirkan praktek penjajahan baru. Hal tersebut disebabkan oleh paradigma neoliberal yang mendominasi pembuatan kebijakan ekonomi di Indonesia.
Akibatnya, utang selalu menjadi andalan pemegang otoritas kebijakan di sektor keuangan dalam membiayai berbagai proyek dan program dalam APBN. Selain itu, kebijakan ekonomi juga diarahkan untuk melayani kepentingan investasi asing di Indonesia. Sebagaimana dapat kita saksikan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN), dari tahun ke tahun penarikan utang luar negeri baru terus mengalami peningkatan. Sebagai contoh, pada tahun 2004 jumlah penarikan utang luar negeri mencapai Rp21.745 triliun. Meningkat cukup pesat pada tahun 2005 hingga mencapai Rp35.540 triliun. Dan sepanjang tahun 2006 – 2009 penarikan utang baru terus mengalami peningkatan sangat tajam.


Peningkatan jumlah penarikan utang luar negeri baru juga diiringi dengan meningkatnya alokasi pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri dalam APBN setiap tahunnya. Tetapi bila dibandingkan, jumlah penarikan utang luar negeri baru jauh lebih kecil dari alokasi yang dikeluarkan pemerintah untuk membayar utang-utang lama. Pada tahun 2004 misalnya, total pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri berjumlah Rp68.937 triliun. Tiga kali lipat dari jumlah penarikan utang luar negeri baru yang diterima pemerintah. Tahun 2008, penarikan utang luar negeri baru berjumlah Rp48.141 triliun. Sebaliknya pembayaran cicilan pokok dan bunga mencapai Rp90.233 triliun. Kondisi ini menjadikan Indonesia tetap berada dalam kategori Negara yang sudah terjebak utang sangat parah. Potret ini juga menunjukan indonesia masih menjadi contoh yang baik praktek perampokan dan eksploitasi negara kaya lewat pembayaran utang.

Satu hal yang menarik untuk dicermati adalah peningkatan secara pesat jumlah penarikan utang luar negeri dalam bentuk program dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004, jumlah penarikan utang program mencapai Rp3.140 triliun. Berikutnya meningkat menjadi Rp11.270 (tahun 2005), Rp12.075 (2006), 19.005 (2007), Rp26.390 (2008), dan Rp26.440 (2009). Peningkatan jumlah utang program menunjukan adanya kebutuhan pemerintah terhadap dana segar untuk menutupi defisit anggaran dalam APBN, termasuk untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang yang jatuh tempo. Selain itu, peningkatan jumlah utang program akan digunakan untuk pelaksanaan “reformasi ekonomi dan kebijakan” yang disyaratkan oleh pihak kreditor dalam setiap pencairan utang program. Reformasi yang dimaksud dalam hal ini tidak lain merupakan pelaksanaan agenda-agenda yang mendukung liberalisasi perekonomian Indonesia. Atau lebih dikenal dengan sebutan “kebijakan penyesuaian struktural.” Di antara contohnya adalah pembuatan undang undang dan aturan lainnya yang memuluskan jalan bagi praktek perampokan ekonomi di berbagai sektor. Seperti pembuatan UU Sumber Daya Air, UU Ketenagalistrikan, dan UU Penanaman Modal.

Saat ini semua kebijakan penyesuaian struktural Bank Dunia dibungkus dalam satu skema kebijakan baru yang bernama “Development Policy Lending” untuk menggantikan program lama Structural Adjustment Programme (SAP) yang mendapat kritik luas dari berbagai pihak. Meskipun dengan nama baru, karakter kebijakan dari setiap utang Bank Dunia sebenarnya tetap sama. Yaitu mengurangi peran pemerintah dalam menyediakan barang publik maupun pelayanan umum seperti pendidikan dan kesehatan. Dan memberikan keleluasaan pada para pemilik modal asing untuk mengelola barang publik dan pelayanan umum sebagaimana mengelola perusahaan yang bertujuan mengejar dan menumpuk keuntungan.

Sejak tahun 2004, Departemen keuangan menjadi pelaksana untuk utang program yang bernama Development Policy Loan (DPL). Utang ini diperoleh dari Bank Dunia bersama Bank Pembangunan Asia dan Pemerintah Jepang. Jumlah Utang yang diterima pemerintah melalui DPL tahun 2004-2009 sejumlah 4,050 miliar USD. DPL bertujuan untuk mendorong reformasi birokrasi pemerintah pusat dan daerah. Utang program tersebut memiliki tiga program utama. Pertama, mendorong kebijakan pemerintah agar ramah terhadap iklim Investasi, melalui reformasi perundangan terkait investasi dan perpajakan. Kedua, Peningkatan manajemen finansial pemerintah. Ketiga, Pelayanan Publik (Public Sevice Delivery), yang didalamnya termasuk program populis pemerintah seperti PNPM.

Di antara program yang dilakukan adalah Reformasi Birokrasi dalam Kementerian Keuangan yang dilaksanakan melalui program yang bernama Government Financial Management and Revenue Administration Project (GFMRAP). Yaitu skema pinjaman kepada Kementerian Keuangan dalam modernisasi teknologi, pembangunan kapasitas dan pengelolaan perubahan. Dukungan serupa dilakukan Bank Dunia untuk program reformasi sistem administrasi pajak melalui Project for Tax Administration Reform (PINTAR).

Artinya, reformasi birokrasi yang selama ini digembar-gemborkan bukanlah murni dari inisiatif pemerintah, tetapi di desain oleh pihak kreditor dan dibiayai oleh utang luar negeri. Dalam hal ini kebijakan ekonomi yang seharusnya menjadi tonggak pelaksanaan amanat konstitusi telah tergadaikan dengan utang dan syarat yang menyertai utang tersebut. Model seperti ini tidak jauh beda dengan Stuctural Adjustment Program (SAP) yang ditentang oleh banyak pihak sebagi alat intervensi kepentingan negara maju terhadap negara berkembang. Padahal, pelaksanaan SAP tidak lain merupakan penerapan agenda-agenda washington konsensus di negara-negara penerima utang seperti Indonesia.

Sayangnya, belum ada satupun presiden yang berani melepaskan Indonesia dari jerat utang yang menjajah semacam ini. Bahkan melalui transaksi utang, rezim neoliberal di Indonesia mendapatkan dukungan politik di tingkat internasional. Dukungan keuangan lewat utang luar negeri digunakan untuk membiayai program-program populis demi untuk menyenangkan hati rakyat. Meskipun program semacam itu belum mampu mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Karena itu, dalam momentum pemilihan calon presiden ke depan rakyat harus terlibat dalam menghentikan praktek penjajahan ekonomi lewat instrumen utang luar negeri.

Jakarta, 28 Juni 2009
Dani Setiawan
Ketua Koalisi Anti Utang (KAU)
0812 967 1744, dani@kau.or.id www.kau.or.id

kopi pastel :
http://kau.or.id/content/view/156/2/

0 komentar:

Posting Komentar